Kelangsungan Investasi Harus Dijaga Di Tengah Revolusi 4.0

Di tengah maraknya isu investasi berbasis teknologi atau yang dikenal dengan sebutan industri 4.0, pemerintah dan pemangku kepentingan lain harus menjaga agar para investor di Indonesia tidak beralih ke negara lain.


Sebab, investasi menjadi satu-satunya andalan untuk tetap memacu pertumbuhan perekonomian dan membuka lapangan kerja. Apalagi, 50 juta rakyat Indonesia berpotensi kehilangan pekerjaan karena revolusi industri 4.0.

Anggota komisi VI DPR RI Eka Sastra memberi contoh dari industri tembakau. Dirinya mengatakan bahwa regulasi terkait tembakau yang dianggap tidak jelas dapat menjadi penyebab utama investor di industri ini enggan mempertahankan bisnisnya di Indonesia.

Menurut dia, pada tahun 2017 sektor tembakau menyumbangkan Rp 149 triliun atau 10 persen dari target pendapatan APBD. 

"Sektor itu juga mempekerjakan total 6,4 juta orang yang terdiri dari petani tembaku, petani cengkeh, pekerja pabrik, hingga pekerja di sektor distribusi produk tembakau. Ini krusial kalau tidak dibenahi regulasinya," ujarnya dalam diskusi Forum Diskusi Ekonomi Politik (FDEP) bertajuk Menjaga Kelangsungan Investasi Indonesia di Jakarta, Senin (4/6).

Senada, pengamat ekonomi dari UGM Tony Prasetiantiono menyampaikan pemerintah sejauh ini sudah bekerja keras untuk menarik investasi sebanyak mungkin.

Namun, fakta di dalam negeri menunjukkan sejumlah investor justru merasa tidak nyaman. Keberadaan regulasi-regulasi tertentu yang berujung peningkatan biaya produksi menjadi alasannya.   

Regulasi yang muncul salah satunya dilatarbelakangi oleh perlunya pemerintah meningkatkan pendapatan negara, yang kemudian diwujudkan dengan menaikkan tarif pajak, bea, cukai, dan retribusi.

"Hal itu menyebabkan para pelaku industri dalam kondisi dilematis, dimana mereka terpaksa menahan produksi untuk menghindari peningkatan biaya," katanya.

Peningkatan kapasitas produksi akan mengarahkan aktivitas usaha berbalik dari menghasilkan keuntungan menjadi pemicu kerugian. Sebab, peningkatan produksi berarti peningkatan jumlah pajak, bea, cukai, dan retribusi yang harus dibayar.

Menurut Toni, industri bisa saja mengurangi kapasitas produksi untuk mencegah kerugian. Dalam skenario itu, negara dan pekerja akhirnya akan ikut merugi. Sebab, negara dan pekerja kehilangan potensi pendapatan.

"Negara juga merugi karena lapangan kerja gagal tercipta akibat industri menahan atau bahkan memangkas produksi," ujarnya.

Jika keadaan itu berlanjut, investor akan memilih hengkang ke negara lain yang lebih mendukung pengembangan modalnya. Skenario itu, kata Tony, tidak bagus untuk Indonesia yang tengah bekerja keras menarik investasi sebanyak mungkin.

"Calon investor bukan tidak mungkin akan menghapus Indonesia dari daftar calon lokasi penanaman modal jika ada fakta yang mengungkap bahwa banyak investor di Indonesia malah justru memindahkan usaha ke negara lain," demikian Tony.