Keuskupan Katolik California Bangkrut di Tengah Ratusan Tuntutan Hukum

Keuskupan Katolik Oakland mengajukan kebangkrutannya pada Senin (8/5), di tengah ratusan tuntutan hukum atas dugaan kasus pelecehan seksual anak-anak yang sedang dihadapi keuskupan tersebut.


Langkah itu disebut sebagai upaya bagi gereja Katolik Oakland untuk dapat menyelesaikan 330 tuntutan hukum yang sedang mereka hadapi, dengan memberikan kompensasi bagi para korban melalui asuransi dan aset gereja.

“Setelah mempertimbangkan berbagai alternatif dengan hati-hati untuk memberikan kompensasi yang adil kepada orang-orang tak bersalah yang dirugikan, kami yakin proses ini adalah cara terbaik untuk memastikan hasil yang adil dan setara bagi para penyintas,” kata Uskup Michael Barber dalam siaran pers.

Namun demikian, seperti dimuat MSN pada Selasa (9/5), di bawah pengajuan kebangkrutan tersebut, tindakan hukum terhadap uskup akan segera dihentikan oleh otoritas California.

Langkah itu telah dikecam oleh Jaringan Penyintas dari Orang-orang yang Disalahgunakan oleh Pendeta (SNAP), dengan mempertanyakan kebenaran dari kebangkrutan tersebut.

Menurut SNAP, pengajuan kebangkrutan hanyalah upaya Keuskupan untuk menolak keadilan dan transparansi yang layak bagi para penyintas. Dalam catatannya, Keuskupan memiliki katedral senilai 200 juta (Rp 2,0 triliun), dan ratusan hektar tanah di Piedmont, Orinda, dan beberapa daerah lainnya.

“Segala sesuatu tentang kebangkrutan ini menurut kami salah. Ini semua hanya tentang upaya menyimpan uang dan rahasia,” kata SNAP dalam pernyataannya, yang mencurigai kebangkrutan itu.

Untuk itu, mereka meminta kepada pemerintah agar dapat memaksa Keuskupan untuk bertanggung jawab dalam menangani kasus pelecehan satu per satu, membiarkan juri mendengarkan kesaksian dan memberikan ganti rugi kepada para korban.

Menanggapi hal tersebut, Keuskupan mengatakan bahwa mereka berjanji akan menyelesaikan ratusan kasus itu. Sementara ini mereka mengklaim telah membentuk dewan peninjau untuk menilai tuduhan pelecehan seksual, memberikan konseling kepada para penyintas, dan memberikan pelatihan kesadaran dan pencegahan pelecehan seksual anak serta pemeriksaan latar belakang.

Sebagian besar tuntutan itu dikabarkan telah berlangsung selama lebih dari tiga puluh tahun lalu, yang berpusat pada kejahatan pelecehan seksual yang terjadi pada 1960-an, 70-an, dan 80-an yang dilakukan oleh para imam yang tidak lagi aktif dalam pelayanan atau telah meninggal dunia.