- BUMN, KPK, Dan Keadilan Yang Ditinggalkan: Antara Janji Di Antartika Dan Celah Di Senayan
- Pembunuhan Karakter Pejuang Islam (2)
- Relevansi Dan Refleksi Sejarah Islam Dan Hukum Islam Abad Ke-14–16 Di Jepara Bagi Masa Kini
Baca Juga
Pesan yang hendak disampaikan oleh pengarang Babad Tanah Jawi dalam cerita tersebut adalah bahwa Sunan Kudus memiliki kepribadian yang sangat buruk, yaitu sebagai penghasut dan pengadu domba.
Adu domba yang dalam terminologi Islam dikenal dengan istilah an-Namimah (النميمة), merupakan salah satu perilaku tercela yang telah banyak menciptakan kerusakan dalam kehidupan individu maupun masyarakat. Tindakan yang bertujuan untuk memprovokasi permusuhan atau konflik di antara manusia, menjadi penyebab utama perpecahan, kebencian, dan keretakan hubungan sosial. Dalam perspektif Islam, adu domba termasuk kategori dosa besar karena dampaknya yang sangat merusak tatanan sosial dan moral manusia. Islam, sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan dan keharmonisan, menekankan pentingnya menghindari adu domba melalui berbagai ajaran yang disampaikan di dalam al-Qur'an maupun hadits Nabi Muhammad saw.
Tulisan sebelumnya dapat dibaca pada tautan berikut:
Pembunuhan Karakter Pejuang Islam (2)
Sebagai sosok pendakwah Islam yang disegani dan sangat dihormati serta menjadi pendidik, pembimbing, dan diteladani sikap perilakunya oleh pengikutnya, kepribadian Sunan Kudus tentu jauh dari sifat-sifat manusiawi yang tercela, seperti provokator dan pengadu domba.
Kalau pun cerita kisah pembunuhan ayah Arya Penangsang tersebut memang benar-benar terjadi, tentu Sunan Kudus tidak akan menghasut Arya Penangsang agar membalas kematian ayahnya. Justru sebaliknya dengan memberi nasihat-nasihat yang menyejukkan hati Arya Penangsang agar tetap bersikap sabar, tabah, dan ridha atas ketentuan (takdir) Allah Ta’ala yang telah terjadi. Mengingat Ja’far Shadiq adalah sosok Syaikhul Islam wal-Muslimin, Zainul ‘Ulama wal-Mujtahidin, al-‘Alim, al-‘Amil, al-Kamil, dan al-Fadhil, sesepuh Islam dan kaum muslimin, pemimpin para ulama dan para mujtahid, orang berpengetahuan agama luas, pengamal ilmu, sosok yang dianggap sebagai manusia sempurna dan utama.
Selain mencitrakan buruk sosok pribadi Sunan Kudus, pengarang Babad Tanah Jawi juga hendak menyampaikan pesan yang mempersepsikan, bahwa Arya Penangsang adalah pribadi yang juga bercitra buruk. Arya Penangsang digambarkan sebagai sosok pribadi yang mudah marah, tidak sabar, dan pendendam. Dengan kata lain Arya Penangsang adalah sosok yang keji dan jauh dari sifat-sifat islami. Dalam Islam, mudah marah dianggap sebagai sifat yang buruk dan harus dihindari karena dapat merusak diri sendiri dan orang lain. Ajaran Islam menekankan pentingnya menahan diri, sabar, dan memaafkan saat marah. Demikian pula dengan pendendam. Dalam Islam sifat pendendam sangat dibenci dan tidak dianjurkan. Menyimpan dendam dianggap sebagai tindakan yang tidak baik dan merugikan diri sendiri, karena dapat menyebabkan rasa tidak tenang, cemas, dan bahkan masalah kesehatan.
Sebaliknya, Islam mendorong umatnya untuk menjadi pemaaf dan berlapang dada. Tentang perilaku dendam, Rasulullah saw berpesan dalam sebuah hadits yang artinya: “Amalan manusia diangkat sejum’at (sepekan) dua kali, yaitu pada Senin dan Kamis. Maka diampuni seluruh hambanya yang mukmin, kecuali hamba yang diantaranya dan saudaranya ada permusuhan. Maka dikatakan, tinggalkan mereka berdua (jangan diampuni) sampai mereka berdamai.” (HR. Muslim). Dalam hadist tersebut dinyatakan, bahwa seorang muslim tidak akan diangkat amalnya, bahkan diampuni dosanya jika masih mempunyai dendam dan pertentangan dengan orang lain.
Tidak hanya Sunan Kudus dan Arya Penangsang saja yang sosok pribadinya dicitrakan buruk oleh cerita Babad Tanah Jawi. Ratu Kalinyamat, Sultan Pajang, dan yang lainnya juga mengalami nasib yang sama.
Ratu Kalinyamat adalah penguasa negeri Jepara yang notabene adalah negeri Islam kala itu. Mana mungkin seorang ratu yang salihah mengobarkan api permusuhan sesama muslim serta dikisahkan bertapa dengan tubuh telanjang bulat tanpa penutup sehelai benang pun? Mengapa pula Sultan Pajang yang juga sebagai penguasa Pajang, negeri Islam, mau diprovokasi dan diajak kerjasama untuk mengakhiri hidup Arya Penangsang sebagai sikap membalaskan dendam Ratu Kalinyamat? Bukankah Ratu Kalinyamat adalah pahlawan kebanggaan negeri Jepara dan Sultan Pajang yang bernama asli Jaka Tingkir adalah leluhur para ulama Jawa?
Babad Tanah Jawi telah mengisahkan Sunan Kudus, Arya Penangsang, Ratu Kalinyamat, Sultan Pajang, dan yang lainnya dengan mencitrakan mereka sebagai sosok-sosok pribadi yang sangat buruk dan keji.
Dampak Kisah Pembunuhan Karakter Pejuang Islam
Cerita kisah telah yang mendistorsi dan bernuansa membunuh karakter kepribadian para tokoh pejuang Islam, khsususnya Sunan Kudus, Arya Penangsang, Ratu Kalinyamat, Sultan Pajang, dan lainnya dalam Babad Tanah Jawi telah diyakini kebenarannya oleh kebanyakan masyarakat Jawa.
Narasi tersebut secara masif telah dikembangkan di masyarakat melalui cerita tutur turun-temurun oleh para guru dan orang-orang tua, menjadi materi dongeng sebelum tidur, sampai menjadi skrip skenario pertunjukan kesenian ketoprak. Pembunuhan karakter para tokoh yang dibungkus dengan cerita pengobaran permusuhan secara turun-temurun berdampak secara akidah (tauhid) maupun secara sosial. Dan dampaknya hingga sekarang masih ditemui dan dirasakan dalam kehidupan masyarakat, baik di Kudus, Jepara, maupun Demak.
Dikatakan berdampak secara akidah mau pun sosial karena cerita kisah yang sudah terlanjur diyakini tersebut akhirnya berkembang menjadi mitos dan sangat ditakuti masyarakat. Di antara mitos tersebut yaitu:
- Kepercayaan yang begitu mendalam masyarakat Jawa terhadap adanya rajah kalacakra yang sengaja dipasang oleh Sunan Kudus di salah satu gapura di kawasan Menara Kudus. Konon, rajah kalacakra tersebut dahulu dipasang di salah satu gapura yang akan dilewati oleh Sultan Pajang (Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir) ketika ia diundang Sunan Kudus untuk berdamai dengan Arya Penangsang. Jika Sultan Pajang berjalan melewati pintu tersebut, maka kedigdayaan Sultan Pajang akan melemah dan luntur sehingga tidak berdaya dan akan dengan mudah ditaklukkan oleh Arya Penangsang. Gapura tersebut selanjutnya oleh masyarakat disebut dengan gapura Arya Penangsang.
Dalam perkembangan berikutnya, gapura Arya Penangsang sangat ditakuti oleh para pejabat pemerintahan mulai dari presiden, menteri, hingga sampai bupati yang sedang berkuasa. Mereka meyakini rajah tersebut masih ada dan masih memiliki pengaruh buruk kepadanya, sehingga jika mereka mendekat, maka ia akan lengser keprabon. Bahkan ironisnya, Bupati Kudus sendiri pun meyakini adanya kekuatan mistis tersebut sehingga tidak berani dekat-dekat dengan menara. Apalagi menziarahi makam Sunan Kudus.
Menurut pendapat penulis, rajah kalacakra adalah cerita rekayasa jahat yang sengaja diciptakan oleh kolonial untuk menjauhkan terjadinya hubungan baik antara umara (pejabat) dengan ulama. Padahal jika keduanya bersanding dengan baik tak ayal akan tercipta tatanan kehidupan masyarakat yang baik. Di dalam QS. An-Nisa’, 59 Allah Ta’ala berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.“
Ayat di atas menjelaskan bahwa ulama adalah representasi fungsi kenabian yang bertanggungjawab untuk menuntun masyarakat, termasuk pemerintah, agar tetap berada di jalan yang benar, sebagaimana dijelaskan Rasulullah saw, al-'ulama' waratsah al-anbiya', ulama adalah pewaris Nabi. Sedangkan, umara (pemerintah) adalah pemimpin eksekutif yang bertanggungjawab terhadap jalannya pemerintahan, yang dalam menjalankan kepemerintahan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip yang dituntunkan para ulama.
Dalam ajaran Islam mitos disebut dengan khufarat, yaitu ajaran yang tidak mempunyai landasan kebenaran. Orang-orang biasa mengenalnya dengan takhayul. Semua keterangan dusta, berawal dari khayalan manusia tanpa bukti nyata, tidak sesuai kenyataan, dan tidak didukung oleh dalil. Itulah yang disebut takhayul. Ketika khayalan tersebut diyakini sebagai kebenaran, ia berubah status menjadi khurafat. Khurafat adalah cerita mempesona yang bercampur dengan perkara dusta, cerita rekaan, khayalan, ajaran-ajaran, ramalan, pemujaan, atau kepercayaan yang menyimpang dari ajaran Islam namun diyakini kebenarannya.
- Adanya kepercayaan, bahwa orang Kudus tidak boleh menikah dengan orang Jepara, orang Kudus tidak boleh menikah dengan orang Demak atau sebaliknya. Jika hal itu dilanggar, maka pernikahannya tidak akan langgeng dan menemu kebahagiaan dalam rumah tangganya. Meskipun tidak sepenuh-nya mitos tersebut diyakini oleh masyarakat masing-masing, tetapi hingga sekarang masih banyak orang yang mempercayainya sehingga tidak berani melanggarnya.
Kemunculan mitos atau kepercayaan tersebut dilatarbelakangi adanya cerita permusuhan yang melibatkan Sunan Kudus, Arya Penangsang, Ratu Kalinyamat, dan Sultan Hadiri sebagaimana dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi. Permusuhan tersebut melahirkan kebencian yang begitu mendalam Ratu Kalinyamat dan Sultan Pajang terhadap Sunan Kudus dan kebencian tersebut diteruskan kepada masyarakatnya. Mitos tentang perjodohan tersebut secara tidak langsung berdampak buruk terhadap hubungan tali sillaturrahim sesama muslim. Dan hal itu sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
Terkait dengan perjodohan, Allah Ta’ala berfirman dalam QS. An-Nahl, 72 yang berbunyi:
وَاللّٰهُ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا وَّجَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَزْوَاجِكُمْ بَنِيْنَ وَحَفَدَةً وَّرَزَقَكُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِۗ اَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُوْنَ وَبِنِعْمَتِ اللّٰهِ هُمْ يَكْفُرُوْنَۙ
“Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri, menjadikan bagimu dari pasanganmu anak-anak dan cucu-cucu, serta menga-nugerahi kamu rezeki yang baik-baik. Mengapa terhadap yang batil mereka beriman, sedangkan terhadap nikmat Allah mereka ingkar?”
Sesuai makna ayat di atas dijelaskan, bahwa jodoh masing-masing manusia sudah ditetapkan oleh Allah Ta’ala dan manusia sudah pasti berpasangan. Meski demikian manusia masih perlu berusaha disertai do’a agar mendapatkan jodohnya. Meskipun Allah Ta’ala sudah menyiapkan dan menentukan siapa jodoh tiap-tiap manusia. Tetapi hal itu masih menjadi misteri sehingga manusia masih perlu meminta kepada Allah Ta’ala dengan berusaha dan berdo’a.
Kemunculan mitos selalu dilatarbelakangi oleh cerita kisah atau dongeng yang berkembang di masyarakat tersebut dan diyakini kebenarannya. Mitos dapat berpotensi merusak akidah umat Islam. Meyakini mitos dapat berarti mengingkari adanya ketentuan Allah Ta’ala yang disebut qadha dan qadar. Segala sesuatu yang terjadi dan berakibat kepada umat manusia adalah sudah menjadi ketentuan Allah Ta’ala bukan oleh yang lain. Adanya qadha dan qadar Allah Ta’ala tersebut harus diyakini sepenuh hati oleh setiap muslim sebab termasuk ke dalam salah satu rukun iman.
Dengan meyakini adanya qadha dan qadar Allah Ta’ala berarti kita wajib percaya, bahwa segala sesuatu yang telah terjadi dan yang akan terjadi telah ditentukan dan ditetapkan oleh Allah Ta’ala, sejak sebelum masa penciptaan (zaman azali). Nasib baik dan buruk yang akan menimpa maupun akan berjodoh dengan siapa sudah diatur dengan rencana-rencana tertulis atau batasan-batasan yang tertentu. Tetapi kita tidak dapat mengetahuinya sebelum terjadi. Rencana sebelumnya itu Qadar atau Takdir, artinya hinggaan. Terlaksananya berupa kenyataan, dinamakan Qadla artinya keputusan perbuatan (pelaksanaan). Sebagian Ulama’ menamakan takdir itu qadha dan qadha itu adalah takdir atau qadar. Jadi segala sesuatu terjadi dengan Qudrat dan Iradat-Nya, yang sesuai dengan qadha dan qadar-Nya. Maka, dalam hakikatnya, kebetulan itu tidak ada. Keterangan tentang hal itu di dalam al-Qur’an banyak sekali, antara lain sebagai berikut:
مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَّبْرَاَهَا ۗاِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌۖ
“Tidak ada bencana (apa pun) yang menimpa di bumi dan tidak (juga yang menimpa) dirimu, kecuali telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah.”
Sebagai penutup, penulis berharap fakta-fakta sejarah masa lalu yang banyak dikaburkan atau pun digelapkan para penyebar fitnah dapat digali, diungkap, dan dikemukakan sebagaimana mestinya. Sejarah ditulis oleh pemenang, demikian jargon mengatakan dan diamini oleh kebanyakan sejarawan. Tidak heran jika kemudian banyak fakta-fakta sejarah yang dikaburkan atau digelapkan demi menyesuaikan dengan keinginan dan alur cerita yang dibuat oleh sang pemenang. Pemenang selalu kelihatan sebagai pihak yang paling baik dan paling benar dan pantas memenangkan pertarungan. Padahal sejarah adalah bagian dari masa lalu yang sangat dibutuhkan untuk introspeksi. Jika fakta-fakta sejarah sudah dikaburkan atau dibelokkan, maka tidak ada gunanya lagi. Dia tidak lebih hanya sebagai salah satu justifikasi saja dari sebuah gagasan dari kelompok pemenang tanpa peduli siapa dia. Bisa jadi dia memang seorang yang sangat baik dan patut dijadikan suri teladan, namun bisa juga dia adalah penipu licik yang tamak.
Materi yang penulis sampaikan ini bukanlah bertujuan mencari pembenaran, melainkan kebenaran. Demikian, semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam bish-showaf.
Kudus, 30 April 2025 TU / 2 Dzilqa’idah 1446 H.
*) Moh Aslim Akmal, Budayawan Dan Pemerhati Sejarah Islam
- Historiografi Sejarah Islam Dan Hukum Islam Di Pulau Muria (3 – Final)
- BUMN, KPK, Dan Keadilan Yang Ditinggalkan: Antara Janji Di Antartika Dan Celah Di Senayan
- Masjid Berusia 157 Tahun Yang Dibangun Hanya Dalam 4 Jam, Rahasia Dibalik Pertarungan Melawan Ular Penjaga