Media sering dipergunakan untuk mengangkat citra calon kepala daerah untuk menyampaikan visi dan misi, tapi banyak juga yang menggunakan media untuk menjatuhkan orang lain dengan kabar-kabar bohong atau hoax.
- Agustin: Kita Kawal Sampai Penetapan KPU
- Gagal Deklarasi, Gerakan Ganjar Demak Bagikan Kaos ke Nelayan dan Petani
- Simulasi KPU di Ngaringan, Surat Suara Malah Dibawa Pulang Warga
Baca Juga
Hal itu disampaikan anggota Satgas Nusantara Mabes Polri, Kombes Pol Sulistyo Pudjo Hartono dalam diskusi Media Pilkada Bebas SARA yang diselenggarakan Institut Komunikasi Nasional (IKN) di Unimus Semarang, Kamis (24/5).
Pilkada merupakan pengalaman bangsa kita. Sudah berapa kali kita melewati momen seperti ini, namun meski sudah sering, masih banyak dinamika yang terjadi," kata Sulistyo.
Dinamika terbaru yang patut diwaspadai adalah dibawanya isu Suku, Agama dan Ras (SARA) dalam pilkada. Biasanya, ada kelompok-kelompok yang memiliki ideologi berbeda, bertarung di media menyebarkan isu SARA itu untuk berebut pengaruh.
Ada daerah di Indonesia, dianggap rawan dengan kontestasi politik dari calon yang memiliki background agama atau suku tertentu," terang dia.
Media massa lanjut dia diminta tidak ikut dalam penyebaran isu SARA tersebut. Media diminta melakukan filterisasi terkait informasi yang ada dan menjadi corong dalam pendidikan berpolitik.
Kenapa saya minta media, karena bentuk hoax yang paling berpengaruh adalah yang berbentuk tulisan, gambar dan video," tambah dia.
Dari hasil survey yang dilakukan, media penyebaran hoax terbesar adalah media sosial dengan 92,40 persen. Disusul kemudian aplikasi chating 82,80 persen, dan situs web 34,90 persen.
Sisanya adalah televisi, media cetak, email dan terakhir radio. Radio ini yang menjadi satu-satunya media massa yang kecil sekali dalam penyebaran informasi hoax," tegasnya.
Sementara itu, pengamat politik Undip Semarang, Yuwanto mengatakan, praktik politik merupakan gambaran dalam pembentukan state building dan nation building.
Jika pilkada membawa kebersamaan, aman dan damai, ini menunjukkan kehidupan kita sebagai bangsa berkembang, maka tujuan dari politik itu akan tercapai," kata dia.
Pilkada lanjut dia seharusnya dapat berfungsi sebagai sarana pendidikan politik yang efektif. Namun, ada tampilan ganda dalam pilkada.
Apa itu, yakni disatu sisi wajah memesona, penuh harapan, tapi wajah satunya adalah wajah sisi gelap, wajah buram," terangnya.
Wajah buram itulah yang harus diantisipasi. Banyak pihak yang ingin menjadikan Pilkada sebagai pasar taruhan yang dikendalikan oleh para bandar.
Inilah yang harus diurai, untuk menjadikan Pilkada yang baik, dibutuhkan kemauan dan kemampuan kita semuanya, untuk merawat ke Indonesiaaan kita," pungkasnya.
- Ingin Perjuangkan Nasib Buruh, KSP Nusantara Deklarasi di Kota Semarang
- Visitasi Evaluasi SPBE Sukoharjo 2024, Sekda Sampaikan Ini
- Prabowo: Rakyat yang Memilih