- Demokrasi Seolah–Olah
- Prospek Ekonomi Jawa Tengah 2025
- Dinparta: Optimis Hasil Dialog Revitalisasi Demak
Baca Juga
Tulisan ini disampaikan pada Dialog Revitalisasi Wisata Religi Kabupaten Demak (Renaisance Demak Menapaki Kembali Kejayaan, 28 September 2024)
Prolog
Demak sering diidentikkan dengan Wali Songo, sembilan wali penyebar Islam di Pulau Jawa. Para wali, terutama Sunan Kalijaga dan Sunan Ampel, berperan penting dalam mendukung perkembangan Kesultanan Demak; khususnya dalam upaya dakwah Islam dan perkembangannya sebagai kekuatan politik berbasis Islam.
Kesultanan Demak didirikan oleh Raden Patah pada akhir abad ke-15 (1475-1478) dan menjadi kerajaan Islam pertama di Jawa sekaligus berpengaruh dalam penyebaran Islam di Nusantara, serta dalam proses transisi kekuasaan politik dari kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha ke kerajaan Islam di Jawa.
Mencapai puncak kejayaannya pada masa kepemimpinan Sultan Trenggana (1521–1546); termasuk keberhasilnya melakukan ekspansi militer dan menaklukkan beberapa kerajaan Hindu-Buddha di Jawa seperti Majapahit yang tersisa, Pajang, dan Mataram Kuno. Pada masa itu, Kesultanan Demak menjadi kekuatan politik dan militer yang dominan di Jawa.
Sepeninggal Sultan Trenggana, Kesultanan Demak mengalami kemunduran akibat konflik internal memperebutkan kekuasaan pemerintahan antara keturunan Sultan Trenggana dan para adipati yang sebelumnya bersekutu.
Keruntuhan terjadi setelah Jaka Tingkir (menantu Sultan Trenggana) berkuasa dan memindahkan pusat kekuasaan ke Pajang. Kesultanan Demak berakhir sekitar tahun 1554. Meskipun berumur pendek, pengaruhnya terus terasa hingga masa kerajaan-kerajaan Islam berikutnya, seperti Pajang dan Mataram.
Pola Pemerintahan Era Wali
Pada masa Kesultanan Demak, khususnya era Wali, pola pemerintahan bersifat monolitik, yakni sistem pemerintahan terpusat (sentralistik) dimana kekuasaan politik dan keagamaan berada di satu tangan penguasa.
Sentralisasi kekuasaan Sultan Demak dijalankan melalui penguatan identitas keislaman, mengkonsolidasikan kekuasaan dan agama sedemikian rupa sehingga agama tidak terpisah dari politik kesultanan. Islam menjadi landasan moral dan ideologis bagi sistem pemerintahan yang dijalankan.
Sultan Demak sebagai pemimpin tertinggi memperoleh legitimasi dari para Wali dan karenanya Sultan memiliki basis keabsahan memegang kendali atas semua aspek kehidupan, baik politik, sosial, budaya maupun agama.
Para Wali tidak hanya berperan sebagai penasihat Sultan, tetapi juga terlibat langsung dalam pengambilan keputusan politik untuk memastikan bahwa pemerintahan berjalan sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Meskipun demikian, pada akhirnya keputusan-keputusan politik tetap berada di tangan Sultan. Pola ini menunjukkan bahwa kendali pemerintahan tetap berada di satu tangan, tanpa adanya sistem checks and balances yang signifikan.
Sultan Demak sebagai representasi kekuatan politik, bekerjasama dengan Wali Songo untuk memperkuat pengaruh agama Islam di wilayah Jawa dan sekitarnya; menggantikan atau mengadaptasi kebudayaan pra-Islam dengan nilai-nilai baru Islam.
Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa pola pemerintahan Kesultanan Demak di era Wali bersifat monolitik; mencerminkan sistem kekuasaan terpusat berdasar pada nilai-nilai Islam sebagai fondasi dengan basis legitimasi politik kharismatik para Wali.
Warisan dan Pengaruh
Pola pemerintahan Kesultanan Demak yang monolitik menciptakan monokultur, yaitu kultur politik tunggal yang berkembang dari praktik penerapan ajaran Islam dalam tata kelola pemerintahan sehari-hari; termasuk pola relasi di antara penguasa, tokoh agama dan rakyat. Kita masih dan akan tetap bisa melihat jejak warisan dan pengaruh itu dalam berbagai karakteristik.
Pertama, karakteristik sentralisme kekuasaan. Kultur politik tunggal tersebut memungkinkan penerimaan, bahkan kepatuhan politik rakyat (political obedience) terhadap kecenderungan sentralisme kekuasaan.
Pemerintahan modern Indonesia “pra-reformasi” misalnya, sangat jelas menampilkan karakteristik pola kepemimpinan nasional yang terpusat (presidential heavy). Demikian pula di aras pemerintahan lokal, terutama di daerah-daerah yang memiliki sejarah panjang kerajaan, kekuasaan masih sering terpusat pada satu pemimpin daerah seperti gubernur atau bupati.
Kedua, karakteristik legitimasi rakyat terhadap corak otoritas kharismatik dalam kepemimpinan pemerintahan. Dasarnya adalah keyakinan yang berkaitan dengan aspek-aspek intrinsik yang bersifat supranatural dalam diri seorang pemimpin.
Keyakinan tersebut melahirkan tanggapan keistimewaan dari masyarakat sebagai bentuk apresiasi otoritas kharismatik. Namun demikian, keberadaan otoritas kharismatik sangat dipengaruhi oleh nilai kemanfaatan yang dirasakan masyarakat, dimana otoritas kharismatik akan hilang dengan adanya penyimpangan-penyimpangan sosial yang dilakukan secara aktif maupun pasif.
Ketiga, karakteristik kolaborasi antara kekuasaan dan agama. Hal tersebut dapat dilihat dari peran agama dalam politik maupun politik identitas dalam praktik politik dan pemerintahan.
Agama masih memainkan peran penting, misalnya ketika para pemimpin politik sering mengandalkan dukungan dari tokoh-tokoh agama atau ormas Islam untuk memperkuat legitimasi mereka.
Bahkan konsep bahwa agama dapat menjadi basis legitimasi politik terus masih berlanjut, terutama di kawasan yang memiliki sejarah kerajaan Islam. Politisasi agama sering digunakan sebagai alat untuk memperoleh dukungan rakyat dalam pemilu; contohnya penggunaan simbol-simbol agama.
Kampanye politik sering menggunakan elemen-elemen keagamaan untuk memperkuat identitas dan kesetiaan dari kelompok masyarakat tertentu.
Keempat, karakteristik feodalisme dalam rekrutmen politik dan birokrasi pemerintahan. Hirarki dan otoritas sosial yang menempatkan kalangan aristokrat di posisi atas masih terbawa dalam kultur lokal; termasuk pengaruh otoritas lokal yang feodalistik dalam kehidupan sosial dan kepemerintahan.
Kecenderungan masih berkembangnya legitimasi melalui keturunan dalam praktik politik dinasti untuk membangun dinasti politik juga tidak terlepas dari karakteristik feodalisme tersebut.
Kelima, karakteristik praktik kepemerintahan lokal berbasis tradisi. Hal ini tergambar dari pelestarian semacam “kearifan lokal” dalam pembuatan keputusan politik dan pemerintahan yang melibatkan para tokoh agama dan adat dalam musyawarah, termasuk dalam penyelesaian konflik.
Pelibatan tokoh agama dan adat dipandang penting sebagai bagian dari legitimasi dalam proses maupun pencapaian hasil keputusan tersebut.
Transendensi Era Kini
Secara filosofis, transendensi (dari bahasa Latin scandere yang artinya “memanjat”) adalah konsep yang menggambarkan struktur fundamental keberadaan (eksistensi) yang begitu tinggi hingga melewati batas tertentu.
Jika kita “memanjat lebih tinggi” untuk melakukan abstraksi atas berbagai karakteristik warisan dan pengaruh pola pemerintahan monolitik era Wali; kita akan sampai pada “tempat tinggi” dimana kita bisa melihat semuanya lebih jelas dan bijaksana.
Pola pemerintahan nasional kita memang tidak lagi monolitik, tetapi pluralistik, yakni pemerintahan dalam naungan negara yang menganut konstitusionalisme berprinsip pada kedaulatan rakyat.
Ada pembagian kekuasaan negara ke dalam cabang legislatif, eksekutif, yudikatif yang diatur dalam mekanisme demokrasi checks and balances. Ada suksesi politik melalui pemilihan umum karena jabatan-jabatan politik harus diisi melalui persetujuan rakyat (government by people’s consent).
Pola pemerintahan lokal juga mengalami demokratisasi karena berlaku asas desentralisasi yang melahirkan daerah-daerah otonom sebagai wujud pluralisme kekuasaan. Desentralisasi politik misalnya, telah memungkinkan rakyat memilih secara langsung kepala daerah mereka di tingkat provinsi, kabupaten/kota; termasuk DPRD-nya.
Dalam konteks tersebut di atas, pola pemerintahan monolitik era Kesultanan Demak tentu sudah tidak relevan lagi; redup dan sudah hilang dalam arus besar perkembangan negara-bangsa (modern nation-state).
Namun jika dilihat dari “tempat tinggi” tadi, gegap gempita demokratisasi kita sepertinya masih didominasi oleh “pembangunan negara” (state building) dalam rupa pengembangan kelembagaan politik dan pemerintahan yang demokratis; utamanya melalui 4 kali amandemen konstitusi.
Sedangkan “pembangunan bangsa” (nation building) sebagai perwujudan sila “persatuan Indonesia” (nasionalisme) masih terseok di belakang dan masih “terbelakang.”
Membangun bangsa lebih sulit, lebih rumit dan lebih lama dibanding membangun kelembagaan negara. Membangun bangsa berarti membangun kultur nasional dari beragam subkultur lokal (tradisi, pranata, nilai) yang terbungkus oleh pluralisme etnisitas, kesukuan, agama dan golongan.
Sangat mungkin “proyek persatuan Indonesia” akan terus berada dalam proses yang tak kunjung selesai (never ending process); meskipun kita bisa belajar dari tapak-tapak warisan sejarah Indonesia pra-kemerdekaan sebagai bekal untuk ikut terlibat membangun “proyek” tersebut.
Apabila kelima karakteristik warisan pola pemerintahan monolitik era Wali di atas dapat diterima sebagai gambaran empirik kita; maka secara transendental apakah eksistensi kita bisa “lebih tinggi” jika kita bisa mengadopsi hal-hal yang baik dan konstruktif sekaligus meninggalkan dan membuang hal-hal yang buruk dan destruktif? Mana hal baik, mana hal buruknya? Saya akan menyilakan pembaca untuk sementara berusaha “memanjat” sendiri.
Epilog
Jejak warisan dan pengaruh pola pemerintahan monolitik Kesultanan Demak masih cukup signifikan ikut mewarnai kultur politik serta perkembangan politik dan pemerintahan kita hingga saat ini; terutama dalam hal sentralisasi kekuasaan, kolaborasi antara agama dan politik, serta sistem sosial yang berbasis feodalisme dan keturunan.
Meskipun Indonesia kini mengadopsi sistem demokrasi modern, jejak-jejak dari pola pemerintahan “kuno” ini masih terlihat dalam banyak aspek politik, sosial, dan budaya baik di aras nasional maupun di berbagai daerah di Indonesia. Kita perlu bijaksana memanfaatkannya (memilah, memilih) untuk mengembangkan kultur politik yang relevan dengan kondisi saat ini.
- Orientasi Pelayanan Publik Dan Keberpihakan Pada UMKM
- Desa Wisata di Kabupaten Demak: Strategi Pengembangan dan Tantangan di Era Disrupsi
- Dialog Revitalisasi Wisata Religi Kabupaten Demak Langkah Inovatif yang Harus Diapresiasi