Proyek Pembangunan Bendungan Bener Merampas Ruang Hidup Warga

Direktur YLBHI Asfinawati. / RMOL Jateng
Direktur YLBHI Asfinawati. / RMOL Jateng

Proyek pembangunan Bendungan Bener dan kuari atau lokasi yang bakal ditambang untuk kebutuhan bahan material proyek Bendungan Bener, telah merampas ruang hidup warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo.


Hal itu mengemuka dalam Diskusi dan Peluncuran Riset Penilaian Dampak Sosial "Wadas Tolak Perampasan Ruang Hidup", yang digelar LBH Yogyakarta, Sabtu (28/8) secara virtual.


Hadir sebagai narasumber, Kharisma Wardhatul Khusniah (LBH Yogyakarta), serta penanggap yakni Azim Muhammad (Warga Wadas), AB Widyanta (Sosiolog UGM), Asfinawati (Direktur YLBHI) , dan Hasrul Buamona (Koalisi Advokat Gempa untuk Keadilan Gempa Dewa).

 

Kharisma Wardhatul Khusniah menjelaskan, Divisi Penelitian LBH Yogyakarta telah melakukan kajian riset dampak sosial atas upaya perampasan ruang hidup terhadap masyarakat di Desa Wadas. Terdapat temuan-temuan diantaranya proses pembuatan kebijakan publik nirpartisipatif dengan pendekatan  represif. 

Mayoritas warga, kata dia, menolak proyek tambang andesit yang menjadi kuari untuk proyek bendungan yang menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN). Ada 307 dari total sekitar 450 kepala keluarga di Desa Wadas, Purworejo, yang menolak.

Secara geografis, Desa Wadas berada pada perbukitan. Aktivitas pertambangan yang mengeruk bukit akan menyebabkan krisis ekologis kerusakan bentang alam. 

"Artinya, jika pertambangan dilakukan, maka sama halnya dengan mengusir ruang hidup warga Desa Wadas. Hal ini belum termasuk dampak lingkungan yang akan dialami oleh desa-desa sekitarnya," tuturnya.

Azim Muhammad, warga Desa Wadas mengaku, mereka menolak karena tambang akan menghancurkan alam yang selama ini menjadi tempat penghidupan warga.

"Peristiwa kekerasan aparat tanggal 23 April lalu, juga membuat sebagian besar warga, khususnya anak-anak dan ibu-ibu trauma. Ada anak yang takut kalau melihat polisi," ujar Azim 

Sosiolog UGM, AB Widyanta mengatakan, pola-pola represif dalam kasus Wadas mirip dengan pembangunan proyek-proyek besar era orde baru, seperti pada proyek waduk Kedung Ombo. Rakyat yang tak setuju dianggap pembangkang yang harus dilawan dengan kekerasan. Seharusnya, tak boleh terjadi di era reformasi saat ini.

Hasrul Buamona dari Koalisi Advokat Gempa untuk Keadilan Gempa Dewa mengatakan, saat ini gugatan warga terhadap gubernur tengah proses sidang di PTUN Semarang.

 

Warga menggugat  Gubernur Jateng Ganjar Pranowo atas kebijakannya menerbitkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/20 Tahun 2021 tertanggal 7 Juni 2021 tentang Pembaruan Atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo. 

Dalam surat pembaruan izin penetapan lokasi, kata Hasrul, Ganjar tetap mencantumkan Desa Wadas. Padahal warga setempat selama ini menolak. Puncak penolakan terjadi saat aparat kepolisian menangkap warga dan kuasa hukum pada demonstrasi April lalu.

Dikatakan, pihaknya selaku kuasa hukum penggugat telah menyampaikan bukti surat mulai dari kedudukan hukum para penggugat hingga bukti lain yang menunjukkan bahwa objek sengketa yang diterbitkan oleh Gubernur Jawa Tengah selaku tergugat adalah cacat prosedur dan cacat substansi.

"Namun ditolak kuasa hukum tergugat dan minta kami mengajukan judicial review ke MA, tapi ironisnya, hakim sepertinya setuju dengan pendapat kuasa hukum tergugat," ungkapnya. 

Direktur YLBHI Asfinawati mengatakan, sumber masalah kasus ini ada pada Omnibus Law UU Cipta Kerja yang menjadi akselerasi dari Proyek Strategis Nasional (PSN). 

"PSN itu terkesan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Tapi, ujungnya adalah kepentingan investasi, yang hanya menguntungkan investor asing dan pengusaha besar. Pembangunan jadi hanya kedok belaka," ujarnya.

Dalam proyek itu, warga Desa Guntur yang menjadi lokasi tapak juga hanya diberi ganti rugi yang tidak layak, antara 50-60 ribu rupiah per meter persegi. 

"Tak heran diberi ganti rugi segitu, bukan ganti untung. Karena dalam PSN itu prinsipnya sesuai kondisi keuangan negara dan kemampuan fiskal. Padahal, siapa yang tahu kemampuan fiskal?" ungkap Asfi.

PSN, kata dia, juga seperti mengembalikan lagi pola pembangunanisme pada masa orde baru, yang tidak partisipatif, merampas hak rakyat dan represif terhadap mereka yang menolak.

"Ini cara-cara yang manipulatif dan harus dilawan. Maka rekomendasi kami, menolak proyek pembangunan bendungan dan tambang andesit di Bener, karena memakai cara-cara represif dan manipulatif serta merampas ruang hidup warga," tandas Asfi.

Kharisma Wardhatul Khusniah dari LBH Yogyakarta.