Semarang Raih Penghargaan Sebagai Kota Pionir Inklusi Sosial

Pemerintah Kota Semarang, Diwakili Wali Kota Agustina Wilujeng, Berhasil Meraih Prestasi Kota Pionir Pembangunan Inklusi Sosial. Dokumentasi Pemkot Semarang
Pemerintah Kota Semarang, Diwakili Wali Kota Agustina Wilujeng, Berhasil Meraih Prestasi Kota Pionir Pembangunan Inklusi Sosial. Dokumentasi Pemkot Semarang

Semarang - Pemerintah Kota Semarang baru mendapatkan sebuah penghargaan sejalan visi dan misi Wali Kota Agustina Wilujeng, sebagai kota inklusif. Torehan prestasi ini diperoleh atas penghargaan Institute For Democracy and Peace (SETARA) bekerja sama dengan INKLUSI, platform Kemitraan Indonesia-Australia.


Atas prestasi ini, Wali Kota Semarang Agustina Wilujeng merasa bangga dan memberikan apresiasinya.

"Terima kasih, ini prestasi yang membanggakan. Keberhasilan ini merupakan bentuk pengakuan terhadap kualitas kinerja dan capaian pemerintah dalam menjalankan dan mencapai pemenuhan hak-hak dasar warga negara," ucap Wali Kota Semarang itu. 

Agustina pun menanggapi terkait prestasi dan komitmen Pemerintah Kota Semarang menjadikan Kota Semarang sebagai kota inklusif. Menurutnya, akan terus mengedepankan tata kelola dan target pemerintahan yang inklusif dalam pembangunan. 

"Inklusivitas menjadi salah satu fokus kami selama menjabat. Tentunya dengan prestasi membuat kami semakin bersemangat untuk terus menghadirkan lebih banyak ruang-ruang aksesibilitas dan menjamin ketersediaan layanan publik yang nyaman untuk semua, tanpa diskriminasi," ucap Agustina.

Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang sukses menorehkan prestasi gemilang sebagai Kota Pionir Pembangunan Inklusi Sosial yang diselenggarakan Institute For Democracy and Peace (SETARA) bekerja sama dengan INKLUSI, platform Kemitraan Indonesia-Australia.

Kota Semarang mendapatkan skor 3,6 yang merupakan nilai tertinggi, sejajar dengan Kota Bandung, Kota Denpasar, Kota Padang, dan Jakarta Selatan. 

Ada dua akumulasi penilaian yang diperoleh Kota Semarang, yakni variabel aspirasional yang menggunakan indikator hak atas kesehatan, pendidikan, ekonomi, keamanan pribadi, lingkungan yang layak, kebudayaan, dan hak atas pekerjaan yang layak; serta variabel pendekatan dengan empat indikator utama: rekognisi, partisipasi, resiliensi dan akomodasi pada empat subjek (perempuan, disabilitas, minoritas agama dan masyarakat adat).