Serikat Nelayan NU Tolak Impor Garam

Rencana Pemerintah yang akan meningkatkan impor komoditas garam sebesar 3,07 ton pada 2021, mendapat penolakan dari Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama (SNNU).


Rencana Pemerintah yang akan meningkatkan impor komoditas garam sebesar 3,07 ton pada 2021, mendapat penolakan dari Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama (SNNU).

"Sesuai RPJMN, pada tahun 2021, produksi garam nasional adalah 3 juta ton, sedangkan kebutuhannasional berkisar pada angka 4 juta ton, jika kita impor 3 juta ton lalu petani mau makan apa? Anak-anakmereka mau sekolah pakai apa?" tegas Ketua Umum SNNU Witjaksono, Rabu (24/3).

Menurut Witjaksono, jika dibiarkan terus seperti ini maka petani adalah pihak yang dirugikan, sehingga mereka berpotensi alih profesi dan lahan garam berpotensi alih fungsi.

Witjaksono lebih lanjut menjelaskan, para petani garam di Indramayu, Cirebon JawaBarat, Jawa Timur dan dari Nusa Tenggara Timur, sangat resah dengan rencana impor dan mereka juga takut produksigaram mereka tidak terserap pasar.

"Bahkan, harga di tingkat petani mencapai Rp100-300 perkilogramnya. Kondisi itu jelas sangat meresahkan, apalagi daerah-daerah ini memproduksi lebih dari separuh produksi garam nasional," ujarnya.

Dia menyatakan, jika impor terus dilakukan,negara kita akan benar-benar bergantung pada impor, dan tidak berdaulat pada sektor pangan.Menurut perhitungan SNNU yang melibatkan 28 pengurus wilayah dan 355 cabang di seluruhIndonesia, maka seharusnya pada tahun ini impor kita hanya sekitar 1 juta ton, tidak lebih dari itu.Karena sebetulnya stok di petani cukup banyak.

Dijelaskan, jumlah warga Nahdliyin setidakya 110 juta, dimana hanya sekitar 10% yang tingal di perkotaan, sisanya tinggal di pedesaan, pegunungan dan pesisir. Setidaknyaada 40-60 juta masyarakat Nahdliyin yang tinggal di pesisir, berprofesi sebagai nelayan, pekerja danpelaku usaha kelautan dan perikanan.

"Selama ini, masyarakat kecil, terutama warga Nahdliyin hanyadidjadikan sebagai objek di dalam perpolitikan nasional dan selalu termarjinalkan tatkala bicaraperekonomian nasional. Politisi hanya hadir di kala Pemilu dan Para Pengusaha hanya menjadikanmasyarakat sebagai objek sasaran pasar mereka," keluhnya.

Seharusnya, pemerintah turut membantu masyakat agarlebih berpihak pada masyarakat kecil dengan menjadikan mereka sebagai pelaku usaha yang terkoordinirsecara korporasi maupun koperasi sesuai arahan Presiden Joko Widodo.

"Hari ini kita tidak lagi berbicara tentang kualitas garam atau cuaca di Indonesia, mari kita bicara tentangkeberpihakan pemerintah. Apabila di sebagian wilayah memang kualitas produksi garam dianggap tidakmemenuhi standar nasional Indonesia kadar minimal KIO3 adalah 30 mg/kg atau kandungan NACL tidakmemenuhi standar 97% sesuai PP No. 9 Tahun 2018 atau kapasitas produksi yang terhalang cuacadi sebagian daerah, ya mari lakukan pendampingan, mekanisasi dan pemanfaatan teknologi lebih lanjutkepada para petani kita," tegasnya.

Jika permasalahannya ada pada harga yang lebih mahal daripada impor, menurutnya, maka pemerintah perlu turun langsung, berantas para mafia garam atau tengkulak nakal. Lakukan operasi pasar, subsidi bisa jugamenjadi opsi.

Data yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik, bahwa pada 2020 sebesar impor naikdrastis setelah pertengahan tahun, tepatnya bulan Agustus. Dalam kurs rupiah ke dollar AS Rp. 14.000,maka harga pembelian kita dari luar negeri adalah berkisar diatas Rp. 1000, dari China sendiri mencapaiRp. 1.500 per kg nya, sedangkan hari ini harga di petani kita Rp. 100-300 perak per kg.

SNNU mendesak Pemerinah untuk segera menetapkan Standar Harga Garam Nasional minimal Rp. 700-1000 per kgPemerinah juga didesak untuk berhenti melakukan impor garam dalam target dua tahun sejak hari ini atau maksimal pada bulan Agustus tahun 2023. [sth]