Tuai Sengketa, Jalan Truntum Pekalongan 'Milik' Siapa?

Audiensi pihak ahli waris pemilik tanah Jalan Truntum dengan Pemkot Pekalongan. Bakti Buwono/Dok.RMOLJateng
Audiensi pihak ahli waris pemilik tanah Jalan Truntum dengan Pemkot Pekalongan. Bakti Buwono/Dok.RMOLJateng

Jalan Truntum, di Kelurahan Krapyak, Kecamatan Pekalongan Utara, Kota Pekalongan, menuai sengketa.


Hal ini tak lepas dari adanya akuan ahli waris yang mengklaim memiliki lahan itu berdasar pada sertifikat hak milik yang dikeluarkan oleh BPN sejak tahun 1991 dan tidak pernah menjualnya.

Anehnya, Pemerintah Kota (Pemkot) Pekalongan juga mengaku jika jalan itu  aset milik pemerintah sesuai dengan ada SK Walikota Nomor 600.1/0414 tahun 2023.

Siapa salah?. Siapa merebut?. Yang pasti, status jalan tersebut kini menjadi perdebatan kedua belah pihak. Ahli waris lahan pun menuntut ganti rugi.

Salah satu ahli waris, Budiraharjo, yang diwakili oleh istrinya, Sri Astutik (52), mengatakan bahwa tanah yang dipersoalkan seluas 815 meter persegi.

Ia juga mengaku, memiliki sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh BPN sejak tahun 1991 dan tidak pernah menjualnya. Namun, ia heran ada sertifikat lain yang muncul di lokasi yang sama.

"Tanah itu warisan dari mertua saya. Saya hanya diberi surat kuasa oleh suami saya dan kakak-kakak ipar saya untuk menyelesaikan masalah ini. Mereka semua tinggal di luar kota Pekalongan," ujar Sri Astutik, Rabu (7/3).

Sri Astutik mengaku sudah berusaha menyelesaikan konflik ini secara baik-baik, dengan mengikuti audensi di berbagai instansi, mulai dari kelurahan, kecamatan, hingga Pemkot Pekalongan. 

Namun, ia merasa tidak mendapatkan keadilan, karena pihak Pemkot mengklaim tanah tersebut sebagai tanah wakaf.

"Karena saya tidak puas dengan hasil audensi, saya minta bantuan pengacara saya, Pak Didik, dari LBH Adhyaksa. Saya berharap ada solusi yang adil untuk kasus ini," tutur Sri Astutik.

Sementara itu, Ketua LBH Adhyaksa Pekalongan, Didik Pramono, mengatakan bahwa ia telah menerima permintaan pendampingan dari ahli waris almarhum Kadar dan Kamalah. 

Ia berencana melakukan langkah-langkah hukum untuk menyelesaikan konflik ini.

"Kami akan melakukan mediasi dengan instansi terkait, termasuk Pemkot Pekalongan dan BPN. Jika mediasi tidak berhasil, kami akan mengajukan gugatan ke pengadilan," kata Didik Pramono saat dihubungi melalui telepon.

Di sisi lain, Sekretaris DPU PR Kota Pekalongan, Khaerudin, mengungkapkan bahwa pihaknya masih menunggu kajian dari atasan, baik kepala dinas, sekda, maupun walikota. 

Ia juga akan melakukan pengecekan langsung ke lapangan, baik di tingkat kelurahan, kecamatan, maupun aset daerah.

"Jalan Truntum itu sudah ada sejak jaman kemerdekaan. Saya sudah tanya ke warga yang sudah lama tinggal di sana, mereka juga bilang begitu. Jalan itu juga sudah ada SK Walikota Nomor 600.1/0414 tahun 2023," jelas Khaerudin.

Ia menambahkan, sertifikat yang dimiliki oleh Pemkot adalah sertifikat tanah jalan, bukan tanah wakaf. Ia berharap konflik ini bisa diselesaikan secara damai dan tidak merugikan siapa pun.

Ia menjabarkan secara keseluruhan, Jalan Truntum, memiliki total panjang 1.334 meter,  dengan lebar 6 meter. Lahan yang  diklaim punya warga berdasarkan sertifikat, panjangnya 68 meter.

'Ini biar clear dulu ya, bahwa bukan semua Jalan disitu itu  milik warga, atas nama hak milik seperti  itu,” katanya.

Diakuinya, dirinya juga merasa kaget atas dua sertifikat pada tanah yang sama. Sebab pemkot audah ada sertifikat tahun 2020.

Pihaknya akan mengonfirmasi BPN terkait dua sertifikat  itu. Di sisi lain, pihaknya mengakui sudah beberapa kali audiensi.

Pihaknya memungkinkan akan melakukan tiga tindakan untuk penyelesaiannya.Pertama  menggali informasi terkait keberadaan tanah atau Jalan Truntum yang ada sertifikatnya itu ke masyarakat, ke kelurahan dan kecamatan

“Yang kedua kami akan berkoordinasi dengan  pihak terkait, ini ada yang di dalam perintah kita, seperti bagian aset, bagian hukum, mungkin juga pihak lain, kelurahan, kecamatan, sebagai  pemangku wilayahnya dan tiga akan dilakukan kajian aspek hukum terkait status tanah tersebut,” jelasnya.

Kajian terakhir yakni ganti rugi. Namun pihaknya akan berhati-hati agar tidak berimplikasi hukum.