Berbagi 'Kupat Jembut', Tradisi Syawalan di Kecamatan Pedurungan Semarang

Tradisi Syawalan di bagian Timur Kota Semarang tepatnya di kawasan Pedurungan  kembali digelar. Nama tradisinya cukup unik yaitu Kupat Jembut. 


Nama Kupat kependekan dari Ketupat dan Jembut sendiri diambil untuk memudahkan penyebutan karena Ketupat yang disajikan diiris tengahnya kemudian diisi tauge mirip rambut dan sayur. 

"Penamaannya ini untuk memudahkan saja. Aslinya ya ini Ketupat Tauge," kata Imam Masjid Rudlotul Muttaqin di kawasan kampung Jaten Cilik Pedurungan, Munawir, Sabtu (29/4). 

Di sekitar Masjid Rudlotul Muttaqin di kampung Jateng Cilik itu, tradisi Kupat Jembut digelar setelah Salat Subuh. Anak-anak yang berkumpul kemudian berebut ketupat dan juga uang. 

Acara berlangsung meriah ketika setiap warga dari rumahnya memberikan tanda kemudian anak-anak berlarian menghampiri untuk berebut ketupat atau uang.

Warga lain lalu memberikan tanda dengan berteriak atau memukuli tiang listrik, anak-anak kembali berlari menghampiri. Rintik hujan yang turun pun tidak meredupkan kemeriahan Syawalan di sana. 

Meski demikian, di Jateng Cilik, jumlah Kupat Jembutnya berkurang drastis bahkan ada yang tidak kebagian. Namun suasana masih gayeng karena warga tetap membagikan uang kepada anak-anak. 

"Iya ini enggak kebagian, tapi ini dapat uang. Seneng aja ya, meriah," ujar Zahira (16). 

Beda dengan di Jaten Cilik, di Gang Pedurungan Tengah II, tradisi Kupat Jembut berlangsung tertib dan ketupat yang disajikan cukup banyak. Para anak-anak dan remaja dikumpulkan sebelum dimulai, kemudian ada yang memandu mengunjungi rumah yang akan membagikan Kupat Jembut atau uang. 

"Ya di sini agak beda, ada yang memandu, kalau rebutan kasihan yang anak-anak kecil," kata ketua RW 1 Kelurahan  Pedurungan  Tengah, Wasi Darsono. 

Dalam Syawalan itu, anak-anak didahulukan baris paling depan agar kebagian. Selain membagikan ketupat dan uang, warga yang ikut di acara Syawalan itu juga saling bermaaf-maafan dengan tetangga. 

Sejarah Kupat 'Jembut'

Asal muasal tradisi Kupat Jembut ini memang belum tercatat resmi. Namun, secara turun menurun diketahui tradisi itu sudah ada sejak sekitar tahun 1950. Saat itu warga sekitar Pedurungan kembali dari pengungsian di daerah Mranggen Demak dan Gubug Grobogan pasca perang Dunia Kedua. 

"Diawali sekitar 1950-an. Waktu itu warga sini habis ngungsi karena Perang Dunia Kedua. Ada yang ngungsi ke Mranggen dan wilayah Gubug," jelas Munawir. 

Di masa sulit itu, warga selalu beryukur kepada Allah usai Idul Fitri dengan berpuasa kemudian menggelar Syawalan. Namun karena perekonomian yang susah, Syawalan digelar sederhana hanya dengan ketupat yang tengahnya disisipi tauge dan sayur mayur. 

"Penamaan itu untuk mudahnya saja. Kupatnya memang seperti ada rambutnya. Orang-orang menyebutnya Kupat Jembut. Tapi untuk awal-awalnya karena kesederhanaan sebetulnya kami menyebutnya kupat tauge," jelas Munawir. 

Belakangan ini biasanya Kupat Jembut juga diselipi plastik berisi uang. Namun, dulu sempat Kupat Jembut diisi dengan petasan sebagai bentuk protes situasi Indonesia sekitar tahun 1965.

"Awalnya dulu pada tahun '65, bentuknya malah dikasih kupat dan mercon. Jadi mercon sampai sekitar tahun '85, sebagai bentuk protes keadaan waktu itu. Karena keadaan semakin baik, ekonomi semakin baik terus dikasih kupat dan jajanan. Sampai tahun 90-an ke sini mulai ada dikasih uang," ujar Munawir yang sudah mengikuti tradisi Kupat Jembut sejak kecil itu.