BPJS Kesehatan Ajak Masyarakat Sadari dan Cegah Penyakit TBC

Penanganan penyakit tuberkulosis (TBC) tidak hanya dapat dilakukan dengan upaya pengobatan saja tetapi lebih penting melalui promosi kesehatan yang mengedukasi masyarakat tentang bagaimana mencegah penyakit tersebut. Dengan demikian, angka kesakitan terhadap penyakit ini dapat ditekan, terutama di masa pandemi Covid-19.


Hal tersebut disampaikan Kepala BPJS Kesehatan Cabang Semarang, Andi Ashar dalam acara Bronis Ketan (Obrolan Manis Bersama BPJS Kesehatan) edisi 5. Kegiatan yang dihadiri oleh 300 peserta secara daring ini digelar dalam rangka memperingati Hari TBC sedunia yang jatuh pada tanggal 24 Maret. 

Dilansir dari data World Health Organization (WHO) sebanyak 1,5 juta orang meninggal di tahun 2020 karena TBC dan menempati urutan ke-2 penyebab kematian karena infeksi setelah Covid-19.

“Perhatian warga dunia saat ini banyak berpusat pada pandemi, namun penyakit-penyakit infeksi lain tentu tidak boleh diabaikan begitu saja termasuk TBC, sehingga perlu adanya edukasi lebih kepada peserta JKN-KIS terkait penanganan TBC pada masa pandemi” tegas Andi, Kamis (24/3).

Dia menjelaskan, saat ini masyarakat Kota Semarang, sebagian besar sudah memiliki "payung"  ketika sakit. Sekitar 96 persen warga Kota Semarang sudah terlindungi dengan Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Namun demikian, upaya untuk mencegah datangnya sakit harus terus digalakkan, salah satunya dengan promosi kesehatan.

"Secara berkala kami menggelar kegiatan promosi kesehatan dengan tema yang berbeda agar masyarakat semakin peduli dengan kesehatan dan senantiasa menjaga kesehatan dengan menerapkan pola hidup sehat," ungkapnya.

Dokter Spesialis Penyakit Dalam RSUP dr. Kariadi Semarang, Jimmy Tanamas menjelaskan, banyak masyarakat hanya mengenal penyakit TBC paru saja. Padahal TBC ini ada yang di luar paru dengan menyerang otak, mata, tulang, pembuluh darah, usus, kandung kemih, hati, ginjal, bahkan kulit.

"Namun, yang harus diketahui, hanya TBC paru yang bisa menularkan ke orang lain, sedangkan TBC non paru tidak,” tegasnya.

Dia menerangkan, gejala TBC paru sendiri meliputi batuk berdahak atau bercampur darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan berkurang hingga berat badan turun, lemas, demam berkepanjangan serta berkeringat di malam hari meskipun tidak beraktivitas. Penyakit TBC juga diklasifikasikan TBC biasa dan TBC resisten obat, yakni TBC biasa yang menjadi kebal karena minum obat yang tidak sesuai maupun penularan dari pasien TBC resisten obat.

"Namun jangan khawatir, penyakit TBC bisa sembuh tanpa sisa. Berdasarkan data WHO sebanyak 66 juta pasien TBC rentang waktu tahun 2000 sampai 2020 dinyatakan sembuh asalkan patuh menjalani pengobatan. Bahkan Indonesia sendiri menargetkan tahun 2030 bebas TBC,"  tuturnya.

Menurutnya, deteksi dini pada kelompok-kelompok berisiko atau bergejala perlu dilakukan agar memperoleh diagnosa dan pengobatan tepat, sehingga dapat sembuh tanpa sisa. Mengingat penularan TBC ini sangat tinggi bagi orang yang memiliki kontak erat dan dalam ruangan tertutup serta sangat berisiko bagi orang dengan gangguan Imunikompromais seperti ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) dan DM (Diabetes Melitus).

“Penularan TBC ini sangat tinggi di lingkungan keluarga karena penularannya melalui aktifitas yang menimbulkan percikan atau droplet. Seperti bercakap-cakap ataupun batuk,” tuturnya.

Tak lupa Jimmy berpesan kepada masyarakat, untuk selalu menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS) serta perhatikan sirkulasi udara yang baik. Lakukan upaya pencegahan melalui pemberian kekebalan melalui vaksinasi BCG, serta untuk rutin menjalani pengobatan TBC selama 6 bulan bagi yang terdiagnosis positif TBC untuk menghindari resistensi penyakit terhadap obat, dan perlunya dukungan penuh dari keluarga.