Catatan Akhir Tahun 2021 LBH Semarang: Menuju Tahun Penuh Bahaya, Saatnya Reposisi Gerakan Rakyat

Bertepatan dengan peringatan Hari Ibu 2021, LBH Semarang merilis Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2021. Catahu kali ini bertemakan "Menuju Tahun Penuh Bahaya: Saatnya Reposisi Gerakan Rakyat".


Tema ini diambil berdasarkan kondisi objektif pada tahun 2021, baik berdasarkan advokasi yang dilakukan maupun pemberitaan di media massa. 

Adapun tujuan dari peluncuran Catahu ini adalah sebagai laporan pertanggungjawaban LBH Semarang kepada publik dikarenakan LBH Semarang dalam menjalankan aktivitasnya tidak terlepas dari dukungan publik. Selain itu, Catahu juga dimaksudkan sebagai refleksi atas gerakan Bantuan Hukum Struktural (BHS) yang dilakukan oleh LBH Semarang.

Peluncuran Catahu ini diawali dengan refleksi mengenai Hari Ibu oleh Ketua YLBHI, Asfinawati. Dalam refleksinya, Asfin menyampaikan bahwa Hari Ibu telah dijadikan alat oleh rezim Orde Baru sebagai cara untuk mendomestifikasi perempuan. Padahal, sejarah Hari Ibu berawal dari Kongres Perempuan Indonesia pada 22 Desember 1928 yang hasilnya justru adalah berkebalikan dari apa yang dinarasikan sejak rezim Orde Baru.

Kongres tersebut pada faktanya menghasilkan keputusan-keputusan yang maju, antara lain bagaimana keterlibatan perempuan dalam politik, salah satunya dengan membentuk organisasi.

Setelah Asfin menyampaikan refleksinya, agenda peluncuran Catahu ini dilanjutkan dengan pemaparan isi Catahu. Berdasarkan pendokumentasian yang dilakukan LBH Semarang terhadap pemberitaan di beberapa media cetak sejak Januari hingga Oktober 2021, tercatat beberapa pelanggaran HAM yang terjadi di Jawa Tengah, antara lain isu lingkungan hidup 20 kasus dengan korban 5.441 orang, pesisir 7 kasus (2.053 korban), tanah 5 kasus (3.063 korban), buruh 10 kasus (6.145 korban), miskin kota 13 kasus (200 korban), kebebasan berekspresi 4 kasus (17 korban), perempuan dan anak 5 kasus (32.891 korban), dan fair trial 4 kasus (5 korban). 

Kemudian, LBH Semarang juga melaporkan advokasi yang dilakukan oleh LBH Semarang selama akhir 2020 hingga akhir 2021. Advokasi yang dilakukan meliputi perjuangan petani atas lahan, pencemaran lingkungan, kebijakan RTRW yang tidak mengakomodir kepentingan rakyat, perlawanan terhadap PHK dan politik upah murah, kekerasan berbasis gender, represi oleh aparat kepolisian,  hambatan kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta konsolidasi-konsolidasi gerakan rakyat.

Advokasi yang telah dilakukan kemudian dikaitkan dengan pelanggaran-pelanggaran HAM yang telah terdokumentasikan untuk mendapatkan gambaran mengenai situasi-situasi yang potensial dihadapi pada tahun-tahun ke depan dan langkah yang perlu dilakukan.

Berdasarkan hal ini, LBH Semarang sampai kepada beberapa kesimpulan pokok, antara lain, 1. Omnibus Law adalah ancaman nyata. Putusan MK tentang uji formil UU Cipta Kerja, perlu direbut tafsirnya oleh rakyat.

2. Negara absen dalam mewujudkan ruang bagi rakyat untuk bebas dari rasa takut.

3. Kapitalisme, patriarki, intoleransi, dan kesewenangan negara adalah musuh bersama bagi rakyat. Karena itu, fragmentasi gerakan hanyalah akan merugikan rakyat.

4. Solidaritas antar rakyat yang tertindas, semestinya merupakan kunci jika kita ingin memenangkan pertarungan melawan berbagai bentuk penindasan. Saatnya melakukan reposisi gerakan rakyat untuk menghadapi tahun-tahun penuh bahaya.