- Indonesia Dalam Cengkeraman Bencana: Bagaimana Teknologi Super Komputer Menjadi Penyelamat?
- Kedaulatan Udara: Hak Kita, Jangan Sampai Direbut!
- Mudik Tidak Sekedar Lancar
Baca Juga
Literasi dan Kebudayaan Manusia
Tinggi rendahnya budaya manusia ditentukan oleh sebuah kemampuan memahamai problematika melalui beragam tulisan yang ditampilkan.
Memahami sebuah makna melalui tampilan tulisan, simbol, gambar, dan juga kemampuan untuk menginterpretasikan beragam simbol dan tulisan tersebut. Setiap manusia yang hidup bersama selalu membangun relasi diantara sesamanya.
Kemampuan berliterasi bukan hanya sebatas kemampuan untuk membaca dan menulis, lebih jauh adalah kemampuan untuk memahami hingga menafsirkan beragam pesan yang disampaikan melalui wujud huruf, tulisan, numerik, juga ragam simbol yang ada.
Kelompok manusia ini membentuk beragam kata, simbol, angka, huruf, sebagai bentuk penyampaian komunikasi diantara mereka.
Walaupun setiap pendukung kebudayaan memiliki forma simbol yang berbeda-beda, tetapi disitulah tampak jelas bahwa mereka telah menunjukkan sebuah kemampuan berkomunikasi dari setiap pendukung kebudayaan.
Peradaban Babilonia di Irak, Peradaban Mesir, Tiongkok hingga Maya dan Inca di Benua Amerika menunjukkan tingginya peradaban manusia melalui tampilan simbol-simbol huruf dan kata yang mereka miliki.
Peradaban Melayu Nusantara juga tidak dapat diremehkan karena dalam berbagai situs peninggalan sejarah budaya manusia Nusantara telah dapat dibuktikan adanya kemampuan literasi yang tinggi.
Beberapa makam kuno yang tersebar di berbagai penjuru wilayah Nusantara menampilkan ornamen huruf, simbol tertentu, atau angka numerik sebagai upaya penyampaian pesan yang harus dibaca oleh orang yang masih hidup.
Benda-benda situs mulai candi, hingga makam kuno bukanlah sebuah benda tanpa makna. Setiap situs ini hendak menampilkan pesan juga kisah bahkan nasihat kepada generasi penerusnya.
Budaya Hukum dan Literasi
Kemampuan literasi yang bertujuan memahami setiap pesan hingga mencoba menginterpretasikannya guna mempertahankan proses hidup manusia juga tampak dalam budaya hukum manusia.
Budaya hukum adalah sebuah sikap, cara pandang, pemahaman, juga respons manusia terhadap hukum yang hidup dan bekerja pada sebuah budaya manusia.
Setiap kelompok sosial memiliki budaya hukumnya sendiri, karena setiap budaya menampilkan sebuah norma yang disepakati secara berbeda.
Hukum yang berisi perintah dan larangan tidak sekedar ditampilkan melalui kata dan kalimat, tetapi juga melalui beragam simbol sesuai dengan masing kebudayaan.
Manusia menggunakan hukum sebagai sebuah sarana untuk mempertahankan budayanya. Norma hingga sanksi dikonstruksi untuk mengingatkan manusia bahwa budaya yang ada harus dipertahankan. Punahnya sebuah budaya tentu juga berarti punahnya manusia.
Setiap manusia dituntut untuk memahami setiap pesan dan simbol norma yang ingin disampaikan. Setiap perilaku manusia yang muncul akan bersinggungan dengan norma yang disepakati.
Kemampuan setiap subjek manusia untuk memahami norma (literasi norma) menjadi penting guna mempertahankan budayanya.
Kegagalan manusia untuk memahami norma menjadi ancaman akan munculnya pelanggaran atas norma yang telah disepakati.
Pemahaman manusia timur atas literasi hukum tentunya tidak sama dengan pemahaman manusia barat/Eropa atas pembacaan hukum.
Masyarakat di dunia timur: Asia-Afrika memahami hukum sebagai bentuk dari sebuah kehendak Sang Adi Kodrati, Sang Pengatur Alam Semesta.
Makna-makna atas hukum berada dalam ranah metafisika, bahwa hukum tidak sekedar aras logika melainkan juga aras spiritual sebagai bentuk kehendak kuasa Tuhan atas manusia dana lam semesta.
Konflik Pemaknaan
Pemaknaan atas simbol-simbol norma antara dua kutub budaya timur dan eropa barat tidaklah sebangun.
Konstruksi norma masyarakat Eropa melandaskan pada aras logika, bahwa setiap norma dihasilkan oleh pemikiran yang masuk akal serta rasional. Konsep logika hukum menjadi sebuah metode dalam menguak segenap fakta-fakta yang ada.
Pada masyarakat timur, baik di Asia-Eropa, konstruksi hukum dibangun berdasarkan aras Kuasa Adi Kodrati.
Bahwa segenap norma yang dihasilkan adalah berdasar atas sebuah keyakinan akan hadirnya kuasa adi kodrati.
Manusia sebagai subjek hanyalah menjalankan kehendak-kehendak Sang Adi Kodrati sebagai Sang Penguasa Alam Semesta.
Bagi masyarakat Eropa Barat konsep ini merupakan bentuk dari hadirnya logika mistika.
Sebuah konsep yang tidak masuk akal, karena melandaskan pada kegaiban, meyakini adanya kuasa roh-roh gaib yang mengendalikan hidup manusia yang mengakibatkan sesat piker (Sitompul, 2020).
Logika mistika yang diutarakan oleh Tan Malaka juga layak untuk dikritisi. Bahwa ketika seseorang meyakini sebiah kuasa Adi Kodrati yaitu Tuhan, tidaklah bermakna bahwa sekaligus ia meyakini akan kekuasaan roh gaib yang cenderung tahayul.
Meyakini Tuhan tidaklah sama dengan meyakini kekuasaan atas roh-roh gaib (Subagja, 2024). Sejatinya masyarakat timur meletakkan kehendak Tuhan sebagai pemegang Kuasa Tertinggi Adi Kodrati.
Budaya hukum timur menarik Kuasa Tuhan ke dalam diri hukum. Bahwa manusia bukanlah sekedar entitas subjek yang berkehendak bebas, tetapi ia adalah subjek berkehendak yang dibatasi oleh kehendak tertinggi yaitu Tuhan.
Benturan makna atas pemahaman budaya hukum yang berbeda ini sejatinya mengajarkan sebuah nilai bahwa manusia tak terlepas dari kehendak Tuhan dalam setiap perilakunya.
Hal ini berbeda dengan konsep budaya hukum Eropa yang cenderung menolak eksistensi Kuasa Tuhan dalam dimensi norma-norma hukum yang dijalankannya.
Hukum tidak lain adalah bentuk dari kehendak logis manusia yang ditujukan untuk melindungi kepentingan individu manusia.
Penutup
Perbedaan konsep norma hukum ini sejatinya tidaklah menjadi tuduhan terhadap norma hukum timur yang meletakkan gagasan kekuasaan Adi Kodrati sebagai bentuk rendahnya literasi serta pemahaman atas norma hukum yang dinyatakan sebagai logis juga rasional berdasarkan pada tampilan fakta-fakta.
Norma hukum timur meletakkan sebuah pemahaman atas manusia sebagai pelaksana kehendak Tuhan yang menjalankan amanah Tuhan di bumi.
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (Qs. Adz-Zariyat [51]: 56)
*) Associate Professor Universitas Al Azhar Indonesia
- Menata Ulang Postur Pertahanan Indonesia: Menuju Doktrin Cerdas Dan Berdaulat Di Era Perang Digital dan Otonom
- Catatan Akhir Tahun: Revisi UUPA, Antara Harapan Keadilan Dan Realitas Ketimpangan
- Jaringan Konektivitas Jalan Tol Trans Sumatera Dan Kesiapan Tol Fungsional