Tanpa sepengetahuan banyak pihak, 72 merek dagang Nyonya Meneer ternyata sudah dijual dengan harga di kisaran Rp 10 miliar.
- KPK Kembali Didesak Tuntaskan Skandal BLBI Dan Century
- Misteri Pembunuhan Sekretaris Gudang Ikan Batang, Keluarga : Nyawa Harus Dibalas Nyawa
- Polres Kebumen Tangkap Pencuri Motor
Baca Juga
Angka itu jauh di bawah dari penawar lain yang sempat menyebut angka Rp 200 miliar.
Kurator Nyonya Meneer, Ade Liansyah pada media, tidak menampik informasi itu. Tapi, ia menggarisbawahi bahwa dirinya tidak menyetujui penjualan merek oleh kurator lain tersebut.
"Ketika mendapat tembusan (penjualan), saya langsung membuat surat bahwa saya tidak menandatangani surat penjualan itu," katanya.
Ia berujar penjualan dilakukan sepihak oleh rekan kuratornya yang bernama Wahyu.
Sebelum menyentuh angka Rp 10 miliar, ia mengungkapkan pernah ada penawar yang ingin membeli di kisaran Rp 200 miliar.
Adapun pihaknya melakukan penawaran merek pada akhir Desember 2018.
Namun, penawar itu mundur karena sertifikat merek produk Nyonya Menner sudah kadaluarsa dan perlu diperbaharui.
"Ketika itu, saya menyarankan agar sertifikat merek diperbaharui dulu agar angka penjualan maksimal," jelasnya.
Di beberapa kasus, pihak kurator memang menjual merek dagang dengan kondisi apa adanya.
Penawaran masih terus berlangsung dan ada pengusaha yang sempat menawar Rp 22 miliar.
"Kalau menawar turun dulu Rp 20 miliar okelah, tapi ini langsung di angka Rp 10 miliar. Lebih dari 50 persen," ungkapnya
Setelah itu, muncul kejanggalan dalam penjuakan merek.
Tanpa dilibatkan, ternyata kurator Wahyu pada awal Januari melakukan penjualan merek pada perusahaan Surabaya.
Janggalnya, pada 3 Januari 2019 itu, rekannya baru mengirim surat ke perusahaan tersebut.
"Di hari yang sama, uang pembelian Rp 10 miliar yang dibayarkan. Anehnya yang bayar atas nama PT Bumi Empon dari kota Semarang. Yang beli siapa, yang bayar siapa," urai Ade.
Rekannya pun melanjutkan membuat surat tembusan ke hakim pengawas dan dirinya yang sebenarnya tidak menyetujui.
Karena itulah, ia langsung membuat surat oernyataan tidak menyetujui penjualan itu dan tidak menandatangani penjualan merek Nyonya Meneer.
Ketika dua kurator tidak menandatangani, penjualan tersebut tidak sah.
"Seperti kalau ada kakak adik jual tanah. Kalau kakaknya mau, lalu adiknya menolak apa bisa akad jual beli? Tidak bisa kan?" tuturnya.
Ditambah, ada aturan baru dari kementrian hukum dan Ham yang menyebut merek baru bisa diperjualbelikan ketika sertifikat merek masih berlaku.
"Karena itu harus dibatalkan," tuturnya.
Lalu mengapa para kreditur diam saja? Ia mengatakan kemungkinan banyak yang belum tahu dan kedua belum dibagikan.
Dengan utang Rp 160 miliar, tapi penjualan aset hanya di kisaran Rp 20 miliar, angka itu jelas tidak mencukupi.
Masalah itu diperparah dengan beredarnya penerimaN lowongan kerja mengatasnamakan Nyonya Meneer beberapa waktu lalu.
Kemudian, di sebuah pameran, muncul sebuah produk yang menggunakan merek Nyonya Meneer.
"Pembeli juga sudah mensomasi kurator dua kali karena sudah enam bulan sertifikasi merek belum ada," ceritanya.
Lalu bagaimana jika ada gugatan? Ade mengatakan sudah menentukan sikap sejak awal.
Kalaupun ada yang bertanggung jawab, maka hal itu tanggung jawab kurator yang menjual.
"Tapi anehnya lagi, pembeli tidak melihat tanda tangan kurator tidak lengkap. Hanya satu. Harusnya kalau tahu bisa bertanya dong," jelasnya.
Sebelumnya, PT Nyonya Meneer telah menjual aset mereka yakni sebuah ruko yang ada di kawasan kota lama Semarang dan mesin yang ada di dalam pabrik dengan nilai total Rp9,2 miliar.
Ruko terjual dengan harga Rp7,1 miliar, sedangkan mesin di pabrik berhasil di harga Rp2,1 miliar.
- Ngaku Polisi, YW Tuduh Pelajar jadi Begal Payudara
- Bakar Barang-barang Mantan Istri, Warga Purbalingga Diamankan Polisi
- Rekonstruksi, Tersangka AKP Hariyadi Peragakan Pemukulan Kepada Korban Darso