Tradisi di Indonesia dengan menggunakan baju, sarung dan mukena serba baru saat Lebaran tiba menjadi bagian gaya hidup yang susah untuk dihilangkan.
- Belasan Jaksa Kejari Batang Mendadak Sambangi Dua Panti Asuhan
- Pembebasan Lahan Exit Tol Patimura Hampir Rampung
- Kapolres Semarang : Puluhan Bangkai Ternak di Sungai Serang Diduga Sengaja Dibuang
Baca Juga
Sejatinya tradisi ini tanpa disadari justru membawa ancaman bagi lingkungan.
Tidak dipungkiri peningkatan pembelian pakaian ini tentu menghadirkan keuntungan yang besar bagi pedagang. Omzet yang didapatkan para pedagang baju di saat-saat seperti ini dapat meningkat hingga dua kali lipat. Sayang, hal itu justru berpotensi untuk merugikan lingkungan.
"Saat permintaan baju meningkat, unit produksi yang ada di hulu akan menggunakan sumber daya bahan baku yang lebih banyak. Hal itu akan mendatangkan ancaman yakni peningkatan produksi limbah tekstil," jelas Pakar lingkungan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Prof. Dr. Prabang Setyono dalam rilisnya, Senin (2/5).
Sementara itu, di bagian hilir atau unit penjualan akan mengalami limpahan baju bekas yang banyak. Baju-baju bekas tersebut membutuhkan perawatan ekstra untuk dapat dijual kembali.
Menurut Kepala Program Studi S1 Ilmu Lingkungan UNS ini, perawatan ekstra ini dapat berupa pencucian yang membutuhkan detergen yang cukup banyak.
"Ancaman-ancaman tersebut dapat meningkatkan produksi limbah fesyen di lingkungan," terangnya.
Menurutnya budaya simbolik baju Lebaran memiliki makna positif. Namun, dalam praktiknya harus diimbangi dengan sikap bijak berpakaian.
"Budaya tersebut sebenarnya pemaknaan simboliknya bagus, hanya pemaknaan secara fisiknya tidak harus dengan baju baru tapi baju yang bagus yang sudah tersimpan lama tapi belum dipakai atau jarang dipakai saja," lanjutnya.
Guru besar bidang ilmu pencemaran lingkungan ini memberikan solusi bagi masyarakat yang sudah telanjur membeli baju baru. Dia menyarankan masyarakat untuk menggunakan sistem sirkuler baju layak pakai.
Sistem ini dapat dipahami sebagai penyaluran baju-baju yang dianggap sudah kekecilan atau tidak trend tapi masih bisa dipakai kepada masyarakat yang membutuhkan. Alih-alih membuang, sistem sirkuler penyaluran ini tidak akan menimbulkan limbah bahan tekstil dari baju tersebut.
"Bagi yang sudah membeli pakaian maka baju yang dianggap sudah tidak tren atau sudah tidak dipakai harus disalurkan ke suatu unit usaha atau tempat penampungan baju layak pakai untuk didistribusikan ke masyarakat pengguna lain agar penggunaannya berkelanjutan atau sustainable," lanjutnya.
Sementara itu, baju-baju yang sudah tidak layak pakai dan harus menjadi sampah dapat diberlakukan sistem sirkuler ekonomi. Baju-baju tersebut dapat dijual kepada produsen dengan produk yang memanfaatkan limbah baju. Potongan-potongan baju dapat diubah menjadi bahan fillet atau pengisi properti rumah tangga seperti kursi sofa dan bantalan.
- Pasca Budhi Sarwono Jadi Tersangka, Muncul Spanduk ‘Selamat Jalan Bupatiku, Semoga Tidak Kembali Lagi ke Banjarnegara’
- Kampus Harus Punya Regulasi Pencegahan Kekerasan Seksual
- H+1 Lebaran di Jawa Tengah, Terjadi Peningkatan Arus Tetapi Masih Lancar