PPP Dorong Pemerintah Ambil Kebijakan Tepat Sikapi Perang Dagang AS

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengingatkan pemerintah segera mengambil kebijakan tepat dalam menghadapi perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok.


Ketum PPP, Romahurmuziy menekankan, kondisi perekonomian global sedang berada di dalam ketidakpastian. Kondisi ketidakpastian itu karena kebijakan ekonomi AS di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump yang memicu perang dagang dengan Tiongkok. Serta kenaikan suku bunga acuan The Fed yang membuat ekonomi dunia kembali bergejolak.

"Perang dagang antara AS-Cina kini masuk ke dalam babak baru setelah AS mengenakan tarif bea masuk untuk 200 miliar dolar AS produk asal Cina, dan dibalas oleh Cina yang mengenakan bea masuk untuk 60 miliar dolar AS produk AS. Padahal dua negara ini adalah 25 persen pangsa pasar ekspor Indonesia," jelasnya dalam Rapat Pimpinan Nasional III dan Santiaji Nasional Caleg PPP di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Kamis (27/9).

Keadaan itu semakin kompleks ketika model proteksionisme ala Trump justru menimbulkan efek bola salju ke negara-negara mitra dagang Indonesia. Misalkan India yang sudah memberlakukan kebijakan bea masuk cukup tinggi bagi produk sawit Indonesia.

"Hasilnya ekspor minyak sawit dari Januari-Agustus 2018 turun minus 11,5 persen secara tahunan," kata Romi, sapaan akrabnya.

Menurutnya, neraca perdagangan Indonesia dalam tujuh bulan terakhir mengalami defisit sebesar USD 4 miliar. Angka itu melonjak signifikan dibandingkan posisi yang sama tahun lalu yang tercatat surplus USD 9 miliar.

Adapun, selain efek perang dagang, kenaikan harga minyak mentah yang telah menembus USD 80 dolar per barel memberi tekanan pada impor migas. Bagaimana tidak, defisit migas sudah mencapai USD 8,3 miliar, melonjak dari USD 5,3 miliar di posisi yang sama tahun 2017.

Masalahnya, kenaikan konsumsi BBM dalam negeri berbanding terbalik dengan kondisi produksi minyak atau lifting. Karena itu, jika pemerintah tidak segera membuat kebijakan yang tepat maka akan menjadi masalah sangat serius bagi perekonomian nasional.

"Jika tidak segera dilakukan terobosan dalam menahan turunnya atau meningkatkan produksi minyak nasional, penurunan ini akan menjadi masalah serius," pungkas Romi.