- Gelar Workshop di Tegal, DPR RI Temukan Lima Satuan Pendidikan Tegal Belum Optimalkan Digitalisasi Dana BOS
- UMS Buka Prodi Baru S1 Sistem Informasi, Kuota 150 Mahasiswa Baru
- Dirjen Pendis RI : Dunia Pendidikan 5.0 Guru Adalah Resource Guide
Baca Juga
Ganti menteri, ganti pula sistem. Hal itu terjadi di setiap pergantian kekuasaan di Indonesia. Tak terkecuali dalam dunia pendidikan.
Dalih perbaikan dari hasil evaluasi sistem sebelumnya yang dinilai sengkarut menjadi dasar dalam perubahan PPDB usuangan Nadiem Makarim menjadi SPMB yang dicetuskan Abdul Mu'ti.
Ironisnya, entah sudah diperhitungkan atau tidak, yang pasti nasib para siswa-siswi yang kini tengah mengemban pendidikan, bak kelinci percobaan.
Menyikapi hal ini, Prof. Dr. AH. Rofiuddin, M.Pd, pakar pendidikan dari Universitas Negeri Malang, memberikan kritik terhadap kebijakan ini. “Ganti menteri, ganti kebijakan. Ganti presiden, ganti kementerian. Padahal, membangun sistem pendidikan yang stabil butuh waktu bertahun-tahun. Kalau sekarang dipisah lagi, praktis lima tahun ke depan hanya habis untuk konsolidasi” ujar Prof Rofi, dikutip Kamis (12/2).
Menurut Prof Rofi, perubahan ini justru akan membuat sistem pendidikan tidak efektif. Oleh karena itu, harus membangun struktur baru dari nol.
"Kita sulit membayangkan bagaimana nantinya. Untuk memisahkan SDM dan membuat pola baru saja butuh waktu. Bisa-bisa dalam satu periode pemerintahan, yang terjadi hanya penyesuaian tanpa ada kemajuan signifikan,” tambahnya.
Salah satu kekhawatiran terbesar adalah dampak terhadap riset dan pendidikan tinggi. “Jangankan membiayai riset, anggarannya malah dipotong. Riset itu tidak seperti membangun jembatan yang hasilnya langsung kelihatan. Kalau kebijakan berubah terus seperti ini, apa yang bisa diharapkan?” tegas Prof. Rofiuddin.
Ia juga menyoroti bahwa perubahan ini berpotensi mempersulit eksekusi kebijakan pendidikan. Menurutnya, setiap kementerian baru harus menyusun ulang sistem kerja dan koordinasi.
Sementara itu, Pengamat pendidikan Sultra, Prof.Dr.Edy Karno,S. Pd.,M.Pd mengatakan perubahan sistem itu harus tetap mengakomodasi kelompok rentan, seperti siswa dari keluarga kurang mampu dan daerah terpencil. “Apakah kebijakan afi rmasi akan tetap berlaku atau justru diperkuat, menjadi pertanyaan yang perlu dijawab oleh pemerintah,” ujarnya.
Prof. Edy Karno menekankan pentingnya kejelasan dalam jalur penerimaan berbasisSPMB, seperti domisili, prestasi, afirmasi, dan perpindahan orang tua (mutasi).
Jika sistem seleksi mengalami perubahan, maka pemerintah harus memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat. “Sosialisasi yang luas diperlukan agar orang tua dan calon siswa tidak kebingungan dalam memahami mekanisme penerimaan baru ini,” jelasnya.
Salah satu aspek krusial dalam sistem penerimaan siswa berbasis digital adalah kesiapan infrastruktur teknologi. Apakah SPMB akan menggunakan sistem daring yang sama dengan PPDB sebelumnya atau menghadirkan platform baru ?.
“Yang paling penting adalah memastikan semua pihak, baik sekolah maupun calon siswa, memiliki akses yang sama terhadap sistem SPMB ini,” ungkap Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Halu Oleo (UHO) itu.
Prof. Edy Karno menuturkan bahwa, keunggulan utama sistem digital adalah transparansi dan efisiensi. Dengan penerapan teknologi berbasis data, orang tua dan siswa dapat memantau proses pendaftaran secara real-time. Selain itu dapat meminimalisasi risiko kecurangan, dan mengurangi penggunaan berkas fisik.
Guru Besar FKIP UHO itu menegaskan tantangan dalam implementasi sistem daring tetap ada, terutama di daerah yang memiliki keterbatasan akses internet.
“Selain itu, SPMB ini harus memiliki mekanisme evaluasi dan monitoring yang jelas. Data penerimaan yang terintegrasi dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Data Pokok Pendidikan(Dapodik) akan memudahkan pemerintah dalam menilai efektivitas kebijakan ini serta melakukan perbaikan di tahun-tahun mendatang,” tegas Prof. Edy Karno.
Prof.Edy Karno, menuturkan perubahan terminologi dari PPDB ke SPMB mungkin bertujuan untuk mencerminkan pendekatan yang lebih inklusif dalam penerimaan siswa.
Penggunaan diksi “murid” menegaskan kembali fokus kebijakan ini pada pendidikandasar dan menengah.
“Yang menjadi perhatian utama bukan hanya perubahan nama, tetapi juga apakah terdapat modifikasi dalam sistem seleksi dan administrasi penerimaan siswa. Jika perubahan ini tidak sekadar pergantian istilah, maka penting untuk memahami filosofi yang mendasari peralihan tersebut,” jelas Prof.Edy Karno.
Secara keseluruhan, SPMB memiliki potensi meningkatkan transparansi, efisiensi, dan pemerataan dalam proses penerimaan siswa.
Namun, tanpa sosialisasi yang masif dan kesiapan infrastruktur digital, perubahan ini bisa menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat.
“Pemerintah perlu memastikan masyarakat memahami perubahan ini dengan baik, serta memastikan kesiapan teknologi agar tidak ada kelompok yang tertinggal dalam proses penerimaan siswa,” tambah Prof.Edy Karno.
Dilain pihak, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasamen) Abdul Mu’ti, meyakini perubahan bisa diwujudkan melalui pembiasan hal-hal kecil yang akan berdampak besar, terutama dalam dunia pendidikan.
“Peubahan bisa dilakukan secara gradual dan bertahap. Perubahan-perubahan itu bisa berdampak ketika dilakukan secara bersama-sama,” terang Mu’ti.
Untuk itu, guru bisa membuat cara agar siswa menerapkan pembiasaan terhadap hal-hal kecil akan menjadi kebiasaan.
Dengan ini diharapkan akan yang membentuk anakmemiliki fisik, mental serta karakter yang kuat dalam menghadapi tantangan peradaban dunia yang makin kompleks.
Hal ini sejalan dengan program Tujuh Kebiasan Anak Indonesia Hebat yang digagas dan dilauncing Kemendikdasmen.
“Ambillah contoh anak yang susah bangun pagi. Dengan tujuh kebiasaan yang dimulai dari bangun pagi yang ditanamkan oleh sekolah, bisa terjadi anak justru yang akan membangunkan orangtua. Ini bukti empiris dan perubahan kecil tapi bermakna besar. Halini menunjukkan bahwa inovasi tidak harus revolusioner, cukup simple tetapi bermakna dan itu harus dicari oleh guru dan penyelenggara sekolah,” jelas Mu’ti.
Kemudian Mu’ti juga menambahkan penjelasan perihal metode deep learning, yaitu sebuah pendekatan inovatif dari konsep bagaimana otak bekerja dalam proses belajar.
“Inovasi dengan deep learning akan dimulai dari mindful learning, meaningful learning dan joyful learning,” paparnya.
Mindful learning bertujuan untuk memastikan bahwa murid benar-benaar menggunakan pikirannya dalam memahami pelajaran. Proses ini mendorong murid untuk aktif berpikir bukan pasif dan hanya menerima informasi.
Sedangkan meaningful learning bisa dijabarkan bahwa ketika murid dapat lebih memahami materi dan memiliki pengalaman belajar yang lebih bermakna, maka murid akan terlibat lebih mendalam dalam proses belajar yang menyenangkan.
Metode ini akan memperlihatkan bahwa guru tidak hanya sebagai penyampai materi tetapi sekaligus pendorong bagi murid untuk berpikir kritis.
- Kenalkan Peer Teaching Untuk Menumbuhkan Reading habit dan Saling Bantu Dalam Belajar
- Mendikdasmen : Sekolah Jangan Takut Berinovasi
- SPMB Diakui Mu'ti Lebih Modern dan Solutif