Otoritas Uni Eropa mengambil langkah tegas terhadap praktik pemasaran secara ilegal yang kerap dilakukan oleh e-commerce. Pasalnya hampir 40 persen e-commerce yang ada di kawasan itu terindikasi melakukan praktik manipulatif.
- Kemlu Rusia Minta AS Bebaskan Maria Butina
- Pelajaran Alternatif Sistem Pertahanan Negara Lain Bagi Negara Seperti Indonesia
- Pejuang Kemanusiaan Penanganan Corona Beri Penghargaan Satgas Covid-19
Baca Juga
Menurut data dari Komisi Eropa dan Otoritas Perlindungan Konsumen Nasional (CPC) pada Senin (30/1), sebanyak 148 dari 399 e-commerce yang dipantau telah terbukti memiliki setidaknya satu alat manipulatif dari situsnya untuk mengeksploitasi kerentanan konsumen, dikutip dari Kantor Berita Politik RMOL.
"Perilaku ini jelas salah dan bertentangan dengan perlindungan konsumen," ujar Komisaris Kehakiman Eropa, Didier Reynders, seperti dikutip Anadolu Agency.
Menurut penjelasannya, 42 situs menggunakan alat penghitung mundur palsu, yang biasa digunakan untuk penjualan produk kilat (flash sale).
Sementara sekitar 54 situs web ditemukan dengan sengaja mengarahkan konsumen ke pilihan tertentu, dan 70 situs lainnya berusaha menyembunyikan informasi penting kepada pengguna atau membuatnya kurang dilihat oleh konsumen, seperti ketersediaan produk lain yang harganya lebih murah.
Praktik itu disebut oleh Komisi Eropa sebagai pola gelap. Negara-negara yang sangat peduli dengan data konsumen itu kini akan mulai menindaklanjuti kasus tersebut dengan otoritas Eropa, untuk memperkuat kapasitas mereka, agar praktik semacam itu tidak kembali terulang.
Selain itu, otoritas nasional juga akan menghubungi masing-masing pemilik situs belanja online untuk mendesak mereka memperbaiki situsnya, dan akan mengambil tindakan hukum kedepannya jika diperlukan.
- Divisi Tank ke-105 Korea Utara Masih Berjaya
- Sederhana, Pewaris Tahta Belanda Putri Mahkota Amalia Rayakan Ulang Tahun Ke-18
- Virus Corona Berpotensi Memiliki Mutasi Yang Kebal Terhadap Vaksin