20 Tahun Otsus Papua, Belum Mampu Jadikan Orang Papua Tuan di Negeri Sendiri

Advokat Gabriel Ndawi Ndickend, SH, MH. Foto: ist
Advokat Gabriel Ndawi Ndickend, SH, MH. Foto: ist

Setelah 20 tahun UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua bergulir, sampai kini tidak membuahkan hasil yang signifikan bagi orang Papua.


‘’Otsus Papua cenderung tidak berhasil dan jauh dari makna dan tujuan Otsus,’’ tegas putra daerah Papua, yang juga advokat di Semarang,  Gabriel Ndawi Ndickend, SH, MH, Senin (20/12).

Menurut Gabriel, regulasi yang mengatur Tentang Otonomi Khusus Papua tersebut, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, masih Jauh dari harapan dan ekspektasi Orang Asli Papua.

Isi Undang-Undang Otonomi Khusus tersebut, kata dia, belum sepenuhnya mengakomodir kepentingan Orang Asli Papua, yang memberikan kekhususan dan keistimewaan, serta wewenang seluas-luasnya dalam Bingkai NKRI.  

‘’Yang memproteksi hak-hak sasar, hak-hak khusus, dan hak-hak Istimewa yang dianugerahkan oleh Tuhan sejak awal Tuhan menciptakan alam semesta ini dan menempatkan Orang Asli Papua di Tanah Papua, sebagai Orang Asli (Indigenous peoples), Tuan Tanah, bukan migran,’’ tegas Gabriel.

Gabriel bahkan menyebut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sudah tidak relevan lagi dan tidak visioner. Mengapa? Faktanya, di Tanah Papua ada dua provinsi yaitu Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Namun, di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tersebut hanya tercantum satu nama provinsi saja, yaitu Provinsi Papua, sedangkan nama Provinsi Papua Barat tidak tercantum.

Mengapa dikatakan tidak visioner? Menurut Gabriel, negara ini akan terus berkembang, dan begitu pula dengan Papua akan terus berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Tidak berhenti pada dua Provinsi itu, saja tetapi akan ada pemekaran-pemekaran wilayah-wilayah baru di Tanah Papua seperti misalnya dalam waktu dekat akan ada Pemekaran wilayah Provinsi baru,  yaitu Provinsi Papua Selatan, dan tidak tertutup kemungkinan menyusul provinsi baru lain seperti Papua Tengah, Papua Barat Daya, Papua Utara dan seterusnya, mengingat begitu luasnya wilayah Tanah Papua, yakni 418.707,7 km2.

‘’Tanah Papua bisa menampung kurang lebih 15 Provinsi. Namun bagi kami Orang Asli Papua berpandangan bahwa walaupun tanah kami Luas, dengan perkiraan bisa menampung kurang lebih 15 Provinsi, ke depannya, kami hanya membutuhkan separuhnya saja, yakni 7 Provinsi, dan hal ini sesuai dengan adanya 7 wilayah Adat di Tanah Papua, yaitu Anim Ha, Lapago, Mepago, Domberai, Bomberai, Mamta, dan Saireri.

Di masa-masa yang akan datang,  Gabriel berpendapat, untuk membentuk suatu Daerah Otonomi Baru (DOB), Pemerintah Negara Republik Indonesia harus memperhatikan keseimbangan antara luas wilayah dan jumlah penduduk Orang Asli Papua, bukan jumlah Penduduk orang Indonesia pada umumnya.

‘’Luas wilayah Tanah Papua sudah pasti memenuhi Syarat, namun Jumlah penduduk Orang Asli Papualah yang akan menjadi kendala karena tidak memenuhi Syarat pembentukan Daerah Otonomi Baru ( Pemekaran Provinsi). Sebab, populasi Orang Asli Papua yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah “Kaum Migran Seumur Hidup Turun Temurun”.  

‘’Oleh sebab itu, jangan sampai dengan alasan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia mendatangkan Penduduk Indonesia dari wilayah lain (kaum migran) ke Tanah Papua untuk memenuhi kuota jumlah penduduk sebagai salah satu syarat Pemekaran Wilayah Provinsi, dengan pertimbangan pemerataan penduduk dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mendiami Tanah Papua yang mungkin dianggap sebagai “Tanah Kosong” tak berpenghuni, sehingga dapat diduduki atau ditempati semaunaya dengan cara-cara tidak permitif, tidak adil dan tidak manusiawi,’’ tegasnya.