‘Desa Terompet’ di Wonogiri Tak Lagi Nyaring

Usaha Terompet Kertas Tergilas Jaman
Salah satu perajin terompet dari Kabupaten Wonogiri yang mulai tergerus dengan produk impor. Dok
Salah satu perajin terompet dari Kabupaten Wonogiri yang mulai tergerus dengan produk impor. Dok

Sentra produsen terompet kertas di Desa Ngaglik dan Desa Domas Kecamatan Bulukerto, Wonogiri, kini ‘sunyi’. Suara terompet dan keriuhan desa kecil itu menyambut pergantian tahun sempat berjaya beberapa tahun lalu.


Terompet kertas identik dengan perayaan tahun baru, selalu diburu menjelang pesta malam pergantian. Dua desa ini pun sempat menjadi primadona sebagai penyuplai terompet di berbagai kota di Jawa Tengah.

Namun, perkembangan jaman begitu cepat membuat terompet tak lagi berbunyi nyaring. Para perajin dan penjual menggantungkan nasib melalui terompet pun beralih profesi. Ada yang beralih menjadi pengrajin wayang kardus, buruh tani, buruh serabutan. Ada pula menjadi pengrajin dompet berbahan dari kulit sapi atau kerbau.

Di sentra pengrajin terompet Desa Ngaglik Kecamatan Bulukerto, Wonogiri, jumlah penduduk 4.365 jiwa, di tahun 2017 terdapat pengrajin terompet sebanyak 850 jiwa. 

Pada tahun 2018 turun drastis menjadi kurang dari 200 orang, dan sekarang kurang dari lima orang masih menekuni usaha tersebut.

“Mereka sekarang memilih berdagang  makanan asongan sperti bakso kuah, pentol bakar, cilok dan lainnya,” kata Tokoh masyarakat Desa Ngaglik, Roni Praka, Kamis (21/12).

Dia mengenang masa keemasan desa tersebut. Sekitar bulan Agustus dan September banyak warga lembur membuat terompet sampai tengah malam.

 Ada satu tradisi unik di lingkungan tersebut yakni meniuo terompet buatan sebagai tanda kalau masih lembut. Tetangga pun merespon dengas membalas suara terompet. Alhasil, suasana malam di desa tersebut sangat meriah karena terompet saling bersahutan.

Lalu, memasuki bulan Oktober, sudah ada warga siap-siap mengemasi terompet buatannya untuk dijual di sejumlah kota besar.

“Untuk yang lokasi jualannya jauh, biasanya mereka berangkat lebih awal dengan menyewa truk. Sesampai di kota tujuan, mereka berpencar mencari tempat pangkalan untuk menjual,” kata dia sembari menambahakan, untuk yang lokasi jualannya di kota-kota sekitaran Wonogiri, mereka memilih berangkat belakangan.

Salah satu pedagang terompet asal Bulukerto Giyarto (54) mengaku pusing atas sepinya penjualan terompet.  

“Tahun lalu saja sudah sepi, dan itu tidak hanya di Wonogiri, teman-teman yang berjualan di kota-kota lain juga sepi. Kalah saingan dengan terompet pabrikan," katanya

Menurut Giyarto, terompet pabrikan harganya lebih mahal tetapi model dan bentuknya menarik. Selain itu, terompet pabrikan cara kerjanya dipompa bukan ditiup sehingga  pembeli lebih memilih terompet pabrikan. 

“Terompet-terompet yang tidak laku kadang masih disimpan untuk kenang-kenangan,” kata dia.