Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo menyoroti soal standar
operasional prosedur (SOP) dari para pekerja media dan polisi yang
tengah mengamankan aksi terorisme.
- Penghujung Tahun 2021, Kakanwil Kemenkumham Jateng Borong Penghargaan
- Viral di Medsos, Polisi Tangkap Pemeras Warung Miras
- 5 Pelaku Pengeroyokan di Sarang Rembang, Berhasil Dibekuk Polisi
Baca Juga
Pasalnya, menurut dia budaya orang Indonesia saat terjadi suatu peristiwa adalah mengerumuni tempat kejadian perkara (TKP).
"Pengalaman bom Thamrin 2016. Jadi teroris ketika berhasil meledakan pos polisi di Sarinah itu orang berkerumun, masyarakat biasa, ojek, wartawan berkerumun, celakanya ada teroris yang menyelinap dari kerumunan dan ada dua polisi yang ditembak dari jarak dekat," ulas dia dalam diskusi bertajuk 'Cegah dan Perangi Aksi Teroris' di kantor Kominfo, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (16/5).
Budaya mengerumuni tersebut kata dia justru menyulitkan kerja pihak keamanan. Padahal semestinya, jika terjadi sesuatu, area di sekitar TKP dikosongkan untuk memberikan kesempatan bagi mobil ambulance yang ingin menolong korban dan kepolisian yang ingin mengamankan suasana.
"Ini bagaimana SOP wartawan, bagaimana SOP polisi. Polisi mengatakan begini, loh kami juga butuh wartawan untuk menunjukkan bahwa kami kerja, kami ada di lokasi. Kami katakan, 'Pak dengan terjadi kerumunan, apa bapak tidak kerepotan', akhirnya mereka mengakui, 'oh iya ya'. Itulah pentingnya SOP," urainya.
Pria yang akrab disapa Stanley ini kemudian menyoroti soal media televisi yang suka menyiarkan secara langsung proses penggerebekan terhadap para teroris dari jarak dekat. Menurut dia, selain membahayakan jiwa sang wartawan, siaran langsung media televisi juga dapat membahayakan proses penggerebekan itu sendiri.
"Jadi ketika ada sesuatu, boleh saja orang bikin siaran tapi itu adalah long angle, tidak boleh dari jarak dekat apalagi dari belakang mengikuti polisi lari-lari. Ketika komandan regu (polisi) mengatakan kita mau melakukan pengepungan dari sana, sini, disiarkan live, maka terorisnya nonton juga di Tv. Oh ini ada yang ngepung dari kiri, dari kanan, strategi kita harus mengamankan begini. Karena itu tidak (boleh) disiarkan secara live, bahaya, operasi bisa gagal," jelasnya.
Kalaupun mau disiarkan secara live, sambung Stanley, Dewan Pers melalui edarannya menghimbau agar wartawan meliput tindak pidana terorisme dengan menggunakan kamera tele.
"Wartawan bisa stand up di depan kamera, tapi jangan dekat lokasi. Untuk memberikan kesempatan bagi polisi mengamankan situasi dan juga mengamankan dari kemungkinan serangan susulan," pungkasnya.
- Satpol PP Kota Semarang Segel Tiga Minimarket Tak Miliki Izin Lengkap
- Macan Kumbang Muria Gagalkan Pergeseran Ratusan Ribu Rokok Ilegal
- Terkait Perebutan Gunting Di RS Ambarawa, Polsek Siapkan Rekonstruksi