Nugroho Budiantoro, kuasa hukum mantan Juru Timbang beras di Gudang beras Randugarut, Nurul Huda menolak semua tuntutan dan replik jaksa penuntut umum. Penolakan tersebut dibacakannya secara tegas melalui tanggapan atas replik (duplik) jaksa Kejati Jateng.
- Tersangka Kasus Kematian Dokter ARL Janji Akan Ikuti Proses Hukum Yang Berlaku
- Polda Jateng Larang Warga Gelar Perayaan Hari Kemerdekaan RI ke-76
- Lahan di Demak Disegel Polisi, Diduga Dikeruk Mafia Tanah
Baca Juga
Nugroho menilai, kliennya hanya sebagai korban atas permainan atasan dia. Menurutnya, mustahil apabila seorang juru timbang mengambil beras hingga 600 ton tanpa ketahuan pegawai lainnya saat itu.
"Bagaimana mungkin tidak ketahuan. Bagaimana cara dia melakukannya? Ini sungguh tidak masuk akal," tegas Nugroho di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (5/3).
Nugroho juga menolak keras tuntutan jaksa yang membebani kliennya dengan penggantian kerugian negara hingga mencapai Rp. 5 miliar. Nugroho menilai, hal itu sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan.
Nurul Huda dalam pledoi sebelumnya, mengklarifikasi pernyataan Kadivre Djony Nur Ashari di media massa yang menuding dirinya maling. Klarifikasi tersebut dia ungkap dalam nota pembelaan pribadinya dalam sidang atas dugaan korupsi raibnya 600 ton beras di gudang bulog Randugarut.
Nurul Huda mengatakan bahwa pada 7 Februari 2018, bapak Kadivre Djony Nur Ashari menyatakan beras di gudang hilang 600 ton. Kadivre juga mengatakan, lanjutnya, kalau malingnya adalah Nurul Huda.
"Apakah pantas, orang nomor 1 di Bulog Jawa Tengah menyatakan bahwa staffnya maling? Seperti orang yang tidak berpendidikan saja," kata dia.
Nurul Huda juga mengatakan, atasannya tersebut mungkin lupa pada KD 107 Bab IV Pasal 10 ayat 1 yang membahas soal kehilangan atau kerusakan beras di dalam gudang merupakan tanggungjawab kepala gudang dan atau staff lainnya. Sehingga harus dituntut ganti rugi.
Tak hanya itu, Nurul juga mengatakan mengenai Kadivre, kasubdivre, kakansilog, kepala gudang, atau pengelola gudang wajib mengawasi secara ketat pengelolaan di gudang untuk mencegah timbulnya kerugian.
Selain itu, Nurul Huda meminta kepada pihak berwajib supaya mengusut tuntas perkara raibnya 600 ton beras tersebut. Nurul tidak ingin kalau perkara itu hanya berhenti pada dirinya saja.
Nurul menceritakan, pembelian beras satuan kerja subdivre wilayah 1 Semarang dari Pati menjadi pokok permasalahannya. Menurut Nurul Huda, kualitas beras dari wilayah Pati tidak bagus sehingga beras mengalami penyusutan.
Nurul menilai, satuan kerja wilayah 1 Semarang hanya meliputi Kabupaten Demak, Grobogan, Purwodadi, dan Kendal. Jadi, lanjutnya, saat melakukan pembelian dari Pati, biayanya menjadi semakin besar.
"Saat kejadian itu yang menjabat sebagai Kepala Divre ialah Djony Nur Ashari, sementara Kepala subdivre ialah Hendro Waluyo, dan Kepala Gudangnya ialah Budiawan Hendratno. Saya hanya diperintah menerima beras saja, padahal ongkosnya lebih besar. Masak, saya keluarkan beras 600 ton, bisa tidak seorangpun tahu? Tidak mungkin. Jelas-jelas itu GD fiktif kepala gudang saya," tegas dia.
Kasus raibnya beras di gudang Bulog Randugarut Semarang ini terungkap pada 2017 lalu. Beras sebanyak 600 ton raib dari dalam gudang. Satu orang ditetapkan sebagai tersangka atas perkara yang merugikan negara hampir Rp 6 milyar tersebut.
Dari hasil pemeriksaan, korupsi beras ini dilakukan dengan cara mengelabuhi tumpukan beras. Di bagian tengah tumpukan dikosongkan sehingga mengelabuhi jumlah tumpukan.
Jaksa menuntut Nurul Huda pidana penjara enam tahun dan denda Rp 50 juta subsidaer kurungan tiga bulan. Selain itu, jaksa Dyah juga menuntut Nurul Huda mengganti kerugian negara sebesar Rp 5 milyar.
Jaksa menilai Nurul Huda terbukti melanggar pasal 3 juncto pasal 18 Undang Undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana ditambahkan dan diubah dengan Undang Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke satu KUHP.
- Polisi Temukan Sabu di Rumah Kawasan Gendongan Tingkir, Pemilik Jadi Tersangka
- Polres Pekalongan Kota Bekuk Pemakai Sabu Seberat 5,4 Gram
- Dirut PLN Mangkir Panggilan KPK