KPK Diminta Usut Program Bermasalah Di Kementeriannya Susi

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menelusuri serta membongkar berbagai penggunaan anggaran di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).


Ketua Harian DPP KNTI Marthin Hadiwinata mengatakan hal itu dikarenakan Kementerian yang kini dipimpin oleh Susi Pudjiastuti itu mendapat predikat disclaimer.

Predikat opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP) atau Disclaimer atas Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dari BPK kepada KKP itu sudah berturut terjadi. Marthin mengatakan, selama dua tahun KKP menyandang predikat TMP.

"KKP mendapat predikat disclaimer itu sudah dua tahun berturut. Itu artinya, KKP lemah dalam pengelolaan program, yang berdampak Negara  tidak hadir di pelosok Kampung Nelayan," jelas dia di Jakarta, Senin (4/6) dikutip dari Kantor Berita Politik RMOL

Marthin melanjutkan, KKP lemah dalam pengelolaan keuangan dan implementasi program pemerintah.

Menteri Susi juga dinilai tidak bersungguh-sungguh memastikan program pemerintah diterima oleh rakyat nelayan di kampung pelosok nusantara.

Jadi, kata Marthin, adanya justifikasi penghematan anggaran dari pemerintah, tidaklah tepat. Hal itu dikarenakan, seharusnya KKP memastikan penyerapan anggaran pembangunan sebesar hampir Rp 10 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belaja Negara (APBN) agar dapat dinikmati dan dirasakan oleh nelayan di pelosok nusantara.

"KKP  tidak ada kesungguhan bekerja memastikan pembangunan dan program pemerintah dirasakan oleh nelayan. Yang dilakukan KKP, tidak sejalan dengan visi menghadirkan negara untuk mensejahterakan nelayan dari pinggiran yaitu nelayan tradisional," jelasnya.

Oleh karena itu, lanjut dia, KNTI meminta kepada BPK agar memaparkan serta mempublikasikan LHP kepada nelayan. Hal itu penting agar diketahui permasalahan pengelolaan yang terjadi di KKP.

Selain itu, ditegaskan dia, selanjutnya perlu ada audit menyeluruh dari BPK dan KPK untuk memulai penyelidikan terhadap KKP atas penyelewengan penggunaan APBN.

Dia pun meminta KKP bersikap terbuka serta memastikan akuntabilitas penggunaan dan laporan anggaran keuangannya. BPK dan KPK bersama-sama mengawasi semua aktivitas program dalam bidang kelautan dan perikanan yang menggunakan anggaran negara," ujarnya.

Pada LHP tahun 2017, lanjut Marthin, KKP juga mendapatkan opini Disclaimer, dimana menurut BPK salah satu penyebabnya adalah hasil dari pemeriksaan atas pengadaan 750 kapal untuk nelayan.

Jika dilihat dalam ketentuan yang ada,  lanjutnya lagi, pengadaan itu seharusnya selesai sesuai tahun buku yaitu ada Desember 2016. Namun, selama proses KKP hanya mampu merampungkan 48 kapal dan pengadaan kapal diperpanjang hingga Maret 2017.

"Sedangkan anggaran senilai Rp 209 miliar untuk pengadaan barang tersebut sudah keluar. Salah satunya adalah program bantuan kapal di Provinsi Kalimantan Utara. Mereka hanya menerima 9 kapal yang merupakan program pengadaan tahun 2016, tetapi baru diterima pada bulan April tahun 2017. Namun hingga detik ini tidak beroperasi atau mangkrak," demikian Marthin.