Pegacara Rusdianto Minta Jokowi Jadi Saksi Laporan Pencemaran Nama Baik Susi

Kasus dugaan pencemaran nama baik Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dengan tersangka Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI), Rusdianto Samawa dinilai bisa berimbas pada pemanggilan Presiden RI, Joko Widodo.


Kuasa Hukum Rusdianto, Najamuddin Lawing menjelaskan kasus yang menyeret klien sangat janggal sebab, Rusdianto hanya mengkritisi kebijakan Susi sebagai menteri, bukan bertujuan secara pribadi.

Menurutnya Susi seharusnya mempertangungjawabkan kritik yang diterima kepada masyarakat atau Presiden. Bukan malah melaporkan kliennya.

"Kritik sosial kan harus, dan itu atas nama jabatannya sebagai menteri, bukan bersifat pribadi," ujar Najamuddin saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Rabu (18/4) seperti dikutip Kantor Berita Politik RMOL

Kuasa Hukum Rusdianto lainnya, Abubakar Jum'at Lamatapo menilai juga menilai hal senada. Bahkan ia menai jika kritik terhadp menteri bisa berujung pada dugaan pencemaran nama baik, pihak yang menunjuk Susi bisa dimintai keterngan terkait pertangungjawaban Susi terhadap kebijakan yang telah diambil.

"Kami minta kepada Presiden untuk bisa menjadi saksi dalam perkara ini, karena anak buahnya, Ibu Susi itu membuat laporan (kepolisian) sepengetahuan presiden atau tidak," ujar Abubakar.

Sebelumnya Kementerian yang dipimpin Susi melaporkan Rusdianto ke Bareskrim Polri lantran, dengan nomor laporan polisi LP/664/VII/2017/Bareskrim pada 6 Juli 2017.

Dalam laporan tersebut, Rusdianto dianggap melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik melalui akun Facebook "Rusdianto Samawa Tarano Sagarino" dan akun Youtube "Rusdianto Samawa".

Dalam akun media sosial, Rusdianto kerap melontarkan kritik kepada Susi dan kebijakannya. Salah satunya yakni pelarangan penggunaan cantrang oleh nelayan.

Rusdianto disangka melanggar Pasal 45 ayat (3) juncto Pasal 27 ayat (3) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan atau Pasal 310 dan atau Pasal 311 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).