Punya Tempat Tinggal dari Laba Jualan Bumbu di Pasar Tradisional

Pekerja Sektor Informal Juga Bisa Miliki Rumah
Pedagang Pasar Genuk  Ali Sodikin, saat berada di rumahnya di Perumahan Griya Utama Kudu Asri Kecamatan Genuk Kota Semarang, Minggu (5/2) yang merupakan rumah subsidi. Ali merupakan debitur Bank BTN yang membeli rumah subsidi secara mengangsur dari bank milik pemerintah tersebut. RMOL Jateng
Pedagang Pasar Genuk Ali Sodikin, saat berada di rumahnya di Perumahan Griya Utama Kudu Asri Kecamatan Genuk Kota Semarang, Minggu (5/2) yang merupakan rumah subsidi. Ali merupakan debitur Bank BTN yang membeli rumah subsidi secara mengangsur dari bank milik pemerintah tersebut. RMOL Jateng

Memiliki hunian bagi pekerja informal maupun masyarakat berpenghasilan rendah tak lagi sekadar harapan. Pemerintah Indonesia melalui Bank BTN terus memperkuat komitmen menyediakan rumah terjangkau bagi rakyat.


Bangunan bernuansa biru dengan bagian teras disulap jadi tempat jualan bumbu dapur menjadi rumah idaman Ali Sodikin (40) dan Sri Handayani (40). Pendapatan sebagai pedagang bumbu dapur seolah mengubur mimpi memiliki rumah sendiri dan keluar dari ‘pondok mertua indah’.

Ali dengan mata merah yang masih menahan kantuk sibuk merapikan bumbu-bumbu kemasan dan buah sirsak layak jual saat ditemui RMOL Jateng, Minggu (5/2).

“Saat menikah pengennya punya rumah tapi duit belum ada. Tapi saya bertekad sebagai kepala keluarga, tinggal di rumah mertua tidak bisa selamanya,” kata pedagang bumbu di Pasar Tradisional Genuk ini sembari memutar bola mata mengingat kisah awal pernikahan.

Setiap hari dia mulai berjualan dini hari dan kembali ke rumah pada siang hari untuk beristirahat. Kemudian, dia akan kembali lagi ke pasar tradisional hingga sore untuk menutup warung. Dia juga membuka lapak di rumah seluas 60 meter persegi itu untuk melayani pelanggan dari kalangan tetangga.

Tangannya beralih mengecek sukun yang masih bagus dan laik jual, sembari mengenang proses kepemilikan rumah di Perumahan  Griya Utama Kudu Asri di Kecamatan Genuk Kota Semarang sekitar 4-5 tahun lalu.

Kala itu dirinya melihat brosur perumahan tersebut yang menggandeng Bank BTN untuk kredit pembiayaan sedang dibagikan di pasar. Keinginan memiliki rumah makin kuat seperti saat meminang sang istri pada tahun 2011 lalu. Lantas, dia pun menggali informasi dari petugas marketing perumahan tersebut.

“Semuanya dibantu petugas dari perumahan (pengembang). Disuruh bikin reng-rengan (catatan) pendapatan juga dibantu karena kerja kayak gini (berjualan) hasilnya ga (tidak) tetap dan ga pernah bikin pembukuan,” ungkap pria asal Jepara ini.

Dalam ingatannya, pendapatan yang ditulis masih belum mencukupi untuk mendapatkan kredit pembiayaan perumahan. Petugas memberikan solusi untuk membayarkan uang muka lebih tinggi. Hingga akhirnya disetujui untuk mengajukan pinjaman.

“Hasil jualan bumbu ora akeh (keuntungan tidak banyak). Aku nglumpuke sitik-sitik alon-alon (mengumpulkan sedikit demi sedikit pelan-pelan) akhirnya bisa bayar DP (down payment/ uang muka) sekitar Rp25 juta pokoknya kudu duwe omah (harus punya rumah),” kata dia.

Dia mencontohkan, kentungan dari berjualan bumbu kemasan sekitar Rp1-2 ribu untuk satu rentengan. Alhasil, dia pun mengejar volume penjualan untuk menutupi kebutuhan keluarga termasuk angsuran rumah.

Saat itu, dia memiliki tabungan yang digunakan untuk uang muka saat memulai kredit pembiayaan rumah. Dirinya pantang meminta belas kasihan orang tua dari ke dua belah pihak.

Ketekunan menabung akhirnya impian memiliki rumah sendiri menjadi kenyataan. Dia mulai pindah ke rumah tersebut sekitar tahun 2019 dan lancar membayar kredit.

“Sekitar Rp1 juta per bulan untuk angsuran rumah. Kebetulan sudah punya pelanggan tetap jadi uangnya bisa muter (perputaran usaha),” kata dia.

Euforia memiliki rumah baru ternyata diuji pandemi Covid-19. Penjualan menurun drastis karena tidak ada pembeli ke pasar sedangkan istri bekerja membantu usaha suami. Bahkan, pada awal pandemi keluarga tersebut juga sempat ambruk.

“Jualan tetap buka tapi sepi, hasilnya (uang) habis untuk operasional. Saya bertahan di rumah ini karena kebanggaan. Kalau ingat berat banget, saya pernah makan nasi sama sambal saja. Pinjam uang ke teman belum bisa bayar kursi di rumahku diambil,” ujarnya dengan mata berpendar ke semua sudut ruangan.

Kondisi keuangannya saat itu juga memaksa  tidak bisa membayar angsuran. Sekitar dua bulan tidak bisa memenuhi tenggat hingga didatangi petugas Bank BTN.

“Pegawai bank menawarkan kelonggaran dan memilih untuk tenggang hingga enam bulan. Dua bulan berikutnya sudah bisa membayar angsuran lagi. Alhamdulillah,” terang dia.

Kini dia pun bertekad merenovasi tempatnya berteduh raga. Dia ingin memperluas usaha di rumah untuk melipatkaligandakan keuntungan. Dia mulai menambah ragam jualan buah segar meski bumbu dapur tetap andalan.

“Rencananya bagian teras ini sampai ruang keluarga untuk penyimpanan buah. Kamar dan ruang keluarga akan pindah ke lantai atas. Semoga rejekinya tetap ada untuk bayar angsuran dan renovasi,” ujarnya berharap.

Dukungan dari perbankan penyalur kredit bersubsidi pemerintah pada saat pandemi Covid-19, terutama Bank BTN, memberi angin segar bagi debitur.

“Petugas dari tim collector berinisiatif mengunjungi yang sudah lewat dari tenggat atau bisa juga kreditur datang ke bank jika pendapatan menurun selama pandemi,” terang Kepala Kantor Wilayah  6 Jawa Tengah& Daerah Istimewa Yogyakarta, Roni Subagio, di Kota Semarang, Senin (6/2).

Debitur bisa menyerahkan bukti tersurat seperti surat keterangan PHK. Sedangkan, jika pekerja informal bisa melapor dan petugas akan menggali data melalui wawancara lebih lanjut. Debitur bisa memperoleh penangguhan cicilan baik bunga atau pokok selama jangka waktu tertentu.

“Berdasarkan data tersebut petugas akan memprioritaskan bagi kreditur yang membutuhkan bantuan. Jika tidak mampu maka akan ditangguhkan full (pokok dan bunga),” terang dia.

Namun begitu, adapula debiturdari sektor informal enggan mengambil penawaran tersebut. Mereka melakukan penyesuaian dalam pekerjaan guna memaksimalkan pendapatan.

Pemerintah Bertekad Menyediakan Rumah untuk Rakyat

Pemerintah bertekad dalam menyediakan rumah bagi rakyat Indonesia, termasuk untuk pekerja informal maupun masyarakat berpenghasilan rendah dengan dukungan Bank BTN.

Roni Subagio menambahkan selama 2022 bank pemerintah ini telah menyalurkan kredit perumahan di wilayah Jawa Tengah dengan nilai mencapai Rp1,384 triliun.

Dari jumlah tersebut, penyaluran untuk KPR bersubsidi masih mendominasi dengan nilai Rp1,058 triliun. Adapun jumlah rumah subsidi yang dibiayai BTN selama 2022 di provinsi ini mencapai 7.748 unit.

Pembiyaan untuk perumahan subsidi tahun 2022 mengalami kenaikan dibanding 2021 yang mencapai 5.892 unit dengan nilai pembiayaan mencapai Rp788,2 miliar.

Di 2023, BTN menargetkan peningkatan realisasi pembiayaan perumahan menjadi Rp1,675 miliar. Dari target sebesar itu, sekitar Rp1,093 triliun di antaranya berasal dari pembiayaan untuk rumah subsidi

Bank BTN siap membantu pekerja informal mendapatkan rumah. Pihaknya berkolaborasi dengan beberapa pihak ketiga menaungi sektor informal memiliki rumah contoh dengan bekerja sama dengan beberapa komunitas.

Diantaranya IKAPPI (Ikatan Pedagang Pasar Indonesia, Gojek dan Grab serta beberapa asosiasi atau komunitas berbasis kolektif dalam hal menaungi pekerja sektor informal.

Kepala Kantor Wilayah 6 Jawa Tengah& Daerah Istimewa Yogyakarta, Roni Subagio (kanan) sedang berbincang dengan nasabah yang sedang membayar angsuran di kantor Bank BTN di Kota Semarang. RMOL Jateng

“Permasalahan rumah bersubsidi adalah supply dan demand tidak imbang. Dalam hal ini, bergantung dari teman-teman pengembang berapapun unit dibangun pasti terserap,” terang dia.

Kendala penyediaan rumah bersubsidi diamini oleh pengembang. Salah satu pengembang PT Surya Timur Utama menggarap Perumahan Griya Utama Kudu Asri di Kecamatan Genuk, Kota Semarang.

“Antara supply (ketersediaan) dan demand (permintaan) tidak sebanding. Permintaan terus berdatangan tapi kami hanya mampu menyediakan puluhan unit,” kata Pelaksana Lapangan Manager PT Surya Timur Utama Supriyanto, di Kota Semarang, Senin (6/2).

Beberapa alasan seperti terganjal aturan luasan tanah dan harga tanah di area Kota Semarang terus meroket. Pihaknya mulai membangun rumah bersubsidi pada tahun 2018 mulai menyediakan rumah bersubsidi sekitar 18 unit. Kemudian, di tahun 2022 sekitar 11 unit diperuntukkan untuk pekerja informal.

“Segmen pekerja informal ada dan perlu dibantu agar memiliki rumah,” terang dia.

Saat itu, pihaknya ingin membangun rumah bersubsidi lebih banyak. Meski begitu, pihaknya terganjal ketentuan berlaku pada waktu pembangunan. Merujuk aturan perumahan bersubsidi harus memiliki batasan luas tanah 60 meter persegi. Sedangkan, kapling tanah yang akan dibangun memiliki luas 62-65 meter persegi.

“Sehingga tanah lebih luas kami jadikan rumah komersial,” terang dia.

Konsumen yang mengambil perumahan bersubsidi rata-rata berprofesi sebagai buruh pabrik dan wirausaha. Untuk memenuhi ketentuan persyaratan di bank, petugas dari marketing perumahan akan membantu secara optimal.

“Contoh usaha berdagang, mereka tidak berpikir pembukuan. Kami bantu membuat pembukuan agar bisa diterima oleh pihak bank,” terang dia.

Pihaknya juga menetapkan batasan pendapatan untuk kalangan pekerja informal. Dalam hal ini 1/3 pendapatan untuk angsuran rumah harus dicukupi calon pemilik rumah.

“Jika mentok, kami menyarankan mereka menambah uang muka agar kredit tiap bulan tidak memberatkan. Bagaimanapun, rumah adalah salah satu kebutuhan pokok setiap manusia,” katanya.

Alur Mendapatkan Rumah untuk Pekerja Informal

Berdasarkan data nasional realisasi KPR subsidi BTN tahun 2019-2022 sektor informal saat ini berkontribusi sekitar 7-14% per tahun. Bank BTN merupakan penyalur Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) terbesar pada tahun 2022 sebanyak 11.430 unit atau sebesar 96,2% dari 11.882 unit.

“Kebutuhan syarat administrasi yang berkaitan dengan penghasilan bulanan tidak menjadi penghambat untuk mendapatkan pembiayaan rumah bersubsidi,” tukas Roni Subagio.

Contohnya, pedagang kaki lima. Pihak bank menyadari bahwa kelompok ini tidak memiliki slip gaji hingga pembukuan.

“Kalau tidak punya, kami bisa menggali informasi melalui wawancara lebih detail. Pedagang makanan sehari membutuhkan berapa kilo beras, bisa bisa menjual berapa porsi, income (pendapatan) berapa? Jika lebih maju ada pembukuan,” ungkap Roni.

Hal ini ditempuh untuk memberi kemudahan pekerja informal. Secara umum, tidak ada perbedaan dalam persyaratan untuk memperoleh kredit pembiayaan rumah.

“Petugas akan menyarankan langkah-langkah yang bisa diikuti oleh calon kreditur dari segmen informal,” terang dia.

Dilansir dari laman https://pembiayaan.pu.go.id disebutkan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) berupaya meningkatkan kuemudahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk mendapatkan rumah layak melalui inovasi program bantuan pembiayaan perumahan bersama para pemangku kepentingan terkait.

Dirjen Pembiayaan Infrastruktur PU dan Perumahan, Herry Trisaputra Zuna mengatakan, bantuan pembiayaan perumahan yang dialokasikan pada tahun 2023 senilai Rp30,38 triliun untuk 230 ribu unit rumah melalui program FLPP (fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan), SBUM (subsidi bantuan uang muka) dan Tapera (tabungan perumahan rakyat), termasuk untuk pembayaran SSB (subsidi selisih bunga) telah diterbitkan pada tahun sebelumnya.

“Alokasi anggaran tersebut adalah tertinggi dalam sejarah penyaluran program bantuan dan kemudahan yang diberikan oleh Pemerintah. Alokasi dana FLPP tahun 2023 sebesar Rp25,18 triliun untuk memfasilitasi KPR FLPP sebanyak 220.000 unit rumah, sedangkan alokasi dana Tapera sebesar Rp0,85 triliun untuk memfasilitasi KPR Tapera sebanyak 10.000 unit,” ungkap dia.