Robohnya Pesantren Kami

Eksistensi Pesantren, lembaga pendidikan non formal yang menjadi soko guru kehidupan berbangsa di negeri ini nyaris menghadapi koyak moyak yang cukup memprihatinkan. Judul tulisan ini boleh jadi cukup mewakili situasi keprihatinan itu. Menyitir judul Novel legendaris karya AA Nafis �" Robohnya Surau Kami- yang menceritakan transisi kultural masa itu, tulisan ini merefleksikan kejadian yang hampir sama. Robohnya Surau kami dapat dipahami sebagai potret kegelisahan seorang AA Nafis menyaksikan aktivitas spiritual yang cenderung redup. Budaya pop baca Barat mulai mengancam eksistensi Surau sebagai kantong spiritual sekaligus oase kultural. Generasi muda ketika itu cenderung larut oleh kultur hip hop yang lebih memikat. Perilaku ini membawa pergeseran kultural karena kantong spiritual menjadi kurang diminati. Surau sebagai representasi simbolik perilaku religi cenderung surut peminatnya.


Di pihak yang lain budaya hip hop yang dipersepsikan modern lebih diminati. Bentuk aktualisasi dari potret perubahan seperti itu adalah penampilan yang berubah, perilaku yang berubah, dan cara berpikir juga berubah. Penampilan ala santri berbaju koko atau gamis, dan pakaian bawah mengenakan sarung dianggap kuno. Interaksi mereka yang mulanya mengambil seting Surau sebagai titik pertemuan atau persinggahan kemudian juga mengalami pergeseran. Pendeknya Surau atau Musala mengalami penurunan animo pengunjung yang signifikan. Kalau tokh masih ada kebanyakan orang tua, sebab anak-anak mudanya mencari tempat aktualisasi yang lain.

Fenomena pergeseran nilai seperti ini yang oleh AANafis disebut sebagai awal merapuhnya semangat spiritual di kalangan masyarakat secara umum. Di perkotaan pergeseran semacam itu berlangsung lebih parah, karena tempat-tempat seperti diskotik, klub malam, atau gedung bioskop lebih menjadi pilihan. Hal yang sama juga terjadi di desa-desa, anak-anak muda surut minat menjadikan Surau sebagi tempat berinteraksi. Perilaku anak-anak perkotaan dengan segala aksesorinya tak luput juga menjangkiti perilaku anak-anak di desa.

Robohnya Surau Kami sesungguhnya memotret pergeseran tata nilai yang menggejala ketika itu. AA Nafis tentu bukan tanpa misi menulis novel itu. Istilah Surau atau Musala atau Langgar  (bahasa Jawa) yang dimaksud di sini tentu bukan pemaknaan fisik semata. Namun Surau, Musala atau Langgar lebih merepresentasikan simbol ruang publik di masyarakat karena perannya sebagai kantong kebudayaan dan juga spiritual. Artinya surutnya Surau adalah identik dengan merapuhnya nilai-nilai budaya yang dipandang luhur.  Jika surut saja sama dengan merapuh, maka istilah roboh adalah identik sedang terjadi chaos ketika itu.

Hegemoni budaya hip hop adalah biang dari situasi chaos tersebut.

Kini menarik benang merah fenomena yang diangkat Nafis dalam novelnya itu, jika dikaitkan dengan kecenderungan aktual yang sedang menggejala sekarang ini ada simpul menarik yang perlu kita cermati.

Diakui atau tidak transisi budaya yang berkembang sejak jaman AA Nafis sesungguhnya masih terus terjadi sampai detik ini. Simak misalnya, implikasi perubahan radikal pasca reformasi telah melahirkan pelbagai perilaku yang mengagetkan. Kejadian paling aktual yang tentu semua warga bangsa ini merasakan adalah merebaknya teror.

Tragedi yang dialami bangsa ini pasca reformasi selain krisis ekonomi adalah konflik dan teror. Tragedi Sampit, kerusuhan Ambon, dan Poso kita semua tahu betapa rasa kebangsaan telah tercabut dari akarnya. Begitupun teror demi teror seperti tragedi bom Bali, bom Kuningan dan terakhir adalah bom di JW Marriot serta Rich Carlton.

Tragedi demi tragedi dengan korban jiwa dan harta yang tak ternilai lagi, jika kita menyitir kata-kata Nafis tidak lain adalah karena jatidiri bangsa ini telah terkoyak. Surau sebagai penyangga peradaban telah roboh. Karena kekacauan marak di mana-mana.

Akan halnya Surau, sekarang ini entah disadari atau tidak, sesungguhnya kita sedang menghadapi ancaman bahaya yang mungkin jauh lebih dahsyat.

Mari kita coba renungkan dan cermati bersama ikhwal teror bom yang mengoyak bumi pertiwi ini bertubi-tubi. Entah dari mana mesti memulai untuk mengurainya, namun realitas yang tersaji ke publik pasca tragedi bom Bali dunia pesantren kita seperti menjadi pesakitan. Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki Solo misalnya, menjadi nama yang tak pernah luput disinggung setiap kali bom menyalak.

Pondok Pesantren tak lain adalah institusi pendidikan agama yang secara kultural lahir dari nafas kultural masyarakat. Dia tumbuh menjadi soko guru pendidikan agama karena sektor pendidikan formal jelas tak mampu menampung. Maka aneh jika kemudian Pondok Pesantren terkait, atau dikaitkan dengan peristiwa teror. Analogi sederhana jika ada sekolah tertentu yang alumninya terlibat tawur atau tindak kriminal tentu tidak bisa kemudian sekolah yang bersangkutan disetempel sebagai pencetak tawur.

Analogi-analogi lain tentu bisa dikembangkan. Sebut misalnya begini, kalau ada sasana tinju atau padepokan silat yang muridnya kemudian menjadi tukang berkelahi, apakah sasana dan padepokan itu ikut dipersalahkan.

Amrozi, Mukhlas dan Ansori, trio bomber tragedi bom  Bali memang alumni Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki. Jika demikian apakah kemudian bisa disimpulkan bahwa Pondok Pesantren Ngruki adalah pencetak teroris. Jelas tidak bisa segegabah itu membuat kesimpulan. Mengejutkan dan memprihatinkan, pasca tragedi Bom JW Marriot dan Rich Carlton ada upaya untuk mengobok-obok pesantren. Bahkan sinyalemen yang berkembang di media kini aparat mulai mengawai aktivitas dakwah sejumlah ustad atau kiai.

Terhadap langkah tersebut pelaksanaannya tentu harus dengan sepenuh kehati-hatian. Maaf, soal agama adalah wilayah yang sensitif. Kita semua tentu sepakat teror harus diperangi, dibasmi dan dimusnahkan. Namun jangan untuk tujuan tersebut muncul distorsi yang dampaknya akan lebih buruk. Sebab harus dipahami ketika  wacana pengawasan terhadap Pondok Pesantren mengemuka, di lapangan telah terjadi perkembangan yang merisaukan.

Data di lapangan bicara, sekarang ini makin kecil minat orang tua untuk memasukkan anaknya belajar di Pondok Pesantren. Nah, kecenderungan ini yang harus disikapi, jangan sampai preseden yang lebih buruk terjadi. Pondok Pesantren bagaimana pun adalah kantong spritual dan oase kebudayaan yang telah teruji oleh waktu. Pemerintah tentu harus bertanggung jawab terhadap kebijakan menyelamatkan Pondok Pesantren. Lebih dari itu kalangan pengelola Pondok, dan juga umat Islam harus melihat kecenderungan yang terjadi sebagai evaluasi untuk melakukan koreksi-koreksi yang tepat itu. Jangan sampai terjadi pesantren-pesantren kita roboh, atau dirobohkan oleh kesalahan kita sendiri.

Drs Jayanto Arus Adi, MM *