Menjadi Anjing Penjaga Yang Tak Tergoda

Kala berkumpul, sedang asyik-asyiknya ngomongin Pemilu, eh ada yang tanya ke saya. “Menurut Bapak, enak mana, zaman Soeharto, atau zaman sekarang?” Tanpa mikir panjang lagi, saya jawab tegas,”Jelas enak zaman Pak Harto dong!”


Sebagian kaget mendengar jawaban saya. Mereka tahu saya aktivis yang melawan Orba dan wartawan serta pengacara yang kritis pada pemerintah waktu itu. Kok sekarang berbeda banget. 

"Emang kenapa Pak?” cecar seseorang yang penasaran dengan jawaban saya.

"Sederhana aja kok jawabannya. Pertanyaan kan, enak pada zaman Soeharto atau zaman sekarang? Ya, jelas enak zaman Pak Harto. Kenapa? Waktu itu isteri saya kan masih muda. Sekarang udah mulai sepuh. Saya juga waktu itu masih sangat perkasa.  Sekarang sudah ‘perjuangan hidup.’ Jadi, kalo dibanding-bandingin,  ya enak pas isteri saya masih muda dan saya masih perkasa dong. Dan itu terjadi pada zaman Pak Harto! Hehehe...Sebagian besar pada ketawa, kirain jawabannya mau jawaban politik.

                             ******

Pers, pada galibnya,  adalah simbol masyarakat madani. Madani, artinya berkearifan. Dalam bahasa Inggris, disebut Civil Society. Pers adalah instrumen penting era ini. Karena pers menjadi pilar yang menyangga kehidupan bermasyarakat (madani) secara terhormat dan bermartabat. 

Indonesia mengalami metamorfosa begitu terjal dati era ke era. Lama hidup di bawah kolonialisme Belanda, kemudian merdeka dengan era orde lama, masuk era orde baru. Masing masing orde hadir dengan berupa rupa keadaan, termasuk plus minusnya. Tak luput orde mutakhir reformasi (sekarang) yang memungkinkan kita bersuara bebas.

Pers kita, misalnya, pasca lahirnya UU 40 Tahun 1999, adalah Pers Merdeka. Ada yang mengataka,  Pers Indonesia adalah Pers paling bebas, bahkan paling liberal di dunia. Ini jadi simalakama, ibarat pedang bermata dua, sisi positif pers jadi amplifier yang mengaungkab aspirasi publik, tapi sisi negatifnya bisa menebas tangan kita sendiri.

Dibayangi simalakama ini, sebagai aniing penjaga di manakah posisi pers menjadi penjaga demokrasi. Sebagai pilar keempat civil society apakah pers kita sudah berjalan pada tracknya.

Memijakkan pada spirit kultural Jawa, atau kita sebagai masyarakat, kebebasan seperti apa yang pas. Kita tentu masih ingat headline media di Jakarta yang menggambarkan Presiden SBY dengan gambar kerbau? Atau judul berita besar tertulis 'Mulut Mega Bau Solar'. Ekspresi pers semacam itu bagaimana menakar aspek etik, dan tanggung jawab profesionalnya.

Presiden Joko Widodo tak luput jadi bulan-bulanan, seperti cap presiden ndeso, tolol, plonga plongo dan lain sebagainya. Hal hal di atas sekali lagi perlu code of conduct yang sama agar tidak kebablasan. Terbuka bukanlah telanjang alias wudo (bahasa Jawa). Makanya, falsafah Jawa ada strata yang menjadi sandaran dalam melakoni hidup agar selaras. Pepatah dupak bujang, esem bupati dan  adalah bentuk kearifan yang dihayati secara utuh.

Pertanyaan lanjutannya adalah di mana dan bagaiman pers menjadi anjing penjaga demokrasi? Dapat dibayangkan jika pers adalah benteng demokrasi, namun spirit yang melekat adalah maju tak gentar membela yang bayar. 'Yak ana wik, yak obos'. Tidak ada uang tidak mencoblos. 

Menjaga marwah Pers tetap pada khitahnya, yakni menjadi cermin zaman adalah tugas yang sangat mulia. Pers yang sehat akan mendorong lahirnya demokrasi yang berkualitas. Demokrasi yang berkualitas, akan melahirkan pemimpin pemimpin bangsa yang amanah.

Disini jelas,  bagaimana pers harus memihak. Keberpihakan pers adalah pada kebenaran. Ketika terjadi pelanggaran Pemilu,  Pers berada di garda depan untuk menyalakan kepada publik. Tugas ini bukan tugas yang ringan, tetapi makna fastabikul khoirot yang sesungguhnya ada di sini. Menjadi wartawan yang amanah, tak larut iming iming materi  dan godaan lain merupakan jihad yang seutuhnya.

Menutup catatan ini, saya ingin menukil lagu Qosidah yang didendangkan Nasisa Ria. 'Dunia dalam berita, banyak yang cinta damai, tapi perang makin ramai, kita ingin maju, karenanya demokrasi harus bermutu. tapi adaya godaan luar biasa, caleg pintar, caleg jujur malah hancur, mereka yang culas dan malas justru makmur'.

Akhirnya memungkasi dialog ini saya akan menyampaikan pantun berikut:  Demak Kota Wali, bermahkota Masjid Agung, mari bersama sama mengawal Pemilu ini, untuk Demak,  untuk Indonesia yang lebih maju, sejahtera dan jaya.

SYL (Syahrul Yassin Limpo) sedang bersedih, sekian sudah dan terima kasih.

Wass Wr Wb.

link web jayanto arus adi- https://jayantoarusadi.com/