Tak Hadiri Sidang Gugatan, BPKP Jawa Tengah Dinilai Tak Hormati Pengadilan

Mantan Komisaris PT Citra Guna Perkasa (CGP), Donny Iskandar Sugiyo Utomo alias Edward Setiadi, menggugat sejumlah instansi pemerintah dan penegak hukum di Jawa Tengah ke Pengadilan Negeri (PN) Semarang.


Tergugat yaitu tim kurator PT CGP. Sedangkan turut tergugat yaitu Kejati Jawa Tengah, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Jawa Tengah, perbankan dan beberapa instansi lain.

Gugatan Lain-lain dalam perkara pailit No. 22/Pdt.Sus.Pailit/2018/Pn.Niaga.Smg telah didaftarkan pada 2 November 2022 dan teregister dengan nomor 25/Pdt.Sus.GLL/2022/Pn.Niaga.Smg. Saat ini, gugatan tersebut sudah disidangkan.

Seluruh pihak, baik penggugat maupun tergugat dan turut tergugat hadir dalam sidang perdana yang digelar di PN Semarang, beberapa waktu lalu. 

Namun hanya BPKP Perwakilan Jawa Tengah yang tidak hadir maupun mengirimkan perwakilan.

"Tidak hadirnya BPKP Jawa Tengah, selaku turut tergugat dalam persidangan itu menjadi bukti bahwa BPKP Jawa Tengah tidak menghormati pengadilan," kata Ketua Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK) Jawa Tengah, Edy Susanto, Selasa (15/11/2022).

BPKP sebagai lembaga pemerintah yang bertugas melakukan audit, kata Edy, seharusnya memenuhi jadwal persidangan. 

Kendati posisinya hanya sebagai turut tergugat, bukan tergugat utama, namun keberadaan BPKP cukup penting karena menjadi satu kesatuan dengan tergugat lain.

"Jika lembaga audit saja tidak menghormati pengadilan, maka perlu dipertanyakan kredibilitasnya dalam melakukan audit yang hasilnya dipergunakan dasar oleh aparat penegak hukum dalam penanganan perkara," ujarnya.

Agar tidak menjadi preseden buruk dan merusak citra, Edy berharap, BPKP Jawa Tengah bisa kooperatif dengan menghadiri persidangan selanjutnya guna memberikan tanggapan atas gugatan yang diajukan oleh Edward Setiadi.

Sebelumnya diberitakan, Edward Setiadi, mengajukan gugatan terhadap beberapa instansi tersebut karena Kejati Jawa Tengah melakukan pemeriksaan dugaan tindak pidana korupsi pada pemberian kredit ke PT CGP pada 2016 lalu. 

Saat ini, PT CGP diputus pailit (perdata-red) dan saat ini masih proses penyelesaian tagihan.

"Kejati Jateng semestinya tidak melakukan atau setidak-tidaknya menunda pemeriksaan perkara yang obyek perkaranya masih dalam proses penyelesaian kepailitan," kata kuasa hukum Edward, M Dias Saktiawan.

Selain itu, katanya, proses pailit PT CGP saat ini ditangani tim kurator yang ditunjuk oleh hakim PN Semarang. 

Yang mana, telah ada keputusan untuk menyelesaikan semua tagihan utang dari PT CGP kepada seluruh kreditur termasuk Bank BRI Agroniaga dan Bank Mandiri, selaku pemberi kredit.

Bahwasanya, lanjutnya, proses pelunasan kredit dari kedua bank tersebut sebenarnya sudah terselesaikan dengan agunan yang dijaminkan berupa beberapa sertifikat tanah yang nilainya lebih dari nilai kredit yang diberikan. Sehingga perkara PT CGP merupakan murni perkara hutang piutang.

"Sebagaimana Yusrisprudensi Putusan MA bahwa sengketa hutang piutang adalah sengketa perdata dan tidak dapat dipidanakan. Sehingga, kami meminta kepada majelis hakim menyatakan bahwa peristiwa hukum antara PT CGP dengan bank tersebut sepenuhnya kewenangan Pengadilan Niaga," ucapnya.

Dengan begitu, Dias meminta kepada majelis hakim agar menyatakan surat perintah penyidikan yang dikeluarkan Kepala Kejati Jateng tertanggal 20 Juni 2022, tidak sah dan batal secara hukum. Karena, perkara a quo telah diadili di Pengadilan Niaga pada PN Semarang dan telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht).

Terkait proses pailit PT CGP, saat ini telah ditangani tim kurator selaku tergugat. Hanya saja, tim kurator diketahui melakukan penjualan di bawah tangan sebagian harta pailit. Yaitu empat bidang tanah dan bangunan.

"Namun penjualan di bawah tangan sebagian dari harta pailit PT CGP (tutur tergugat I) yang dilakukan tergugat tim kurator tidak sesuai dengan nilai agunan atas fasilitas kredit yang diterima dari Bank BRI Agroniaga," jelasnya.

Diketahui, nilai agunan yang diberikan oleh Bank BRI Agroniaga Cabang Semarang adalah Rp 13,098 miliar. Sementara nilai penjualan di bawah tangan oleh tim kurator hanya Rp 7,6 miliar. Sehingga ada selisih nilai agunan sebesar Rp 5,498 miliar.

"Sebagaimana petitum gugatan yang kami ajukan, kami berharap majelis hakim menyatakan bahwa tindakan tim kurator selaku tergugat yang telah melakukan penjualan di bawah tangan dengan harga penjualan yang jauh lebih kecil dari harga nilai agunan kredit adalah perbuatan yang merugikan harta pailit," pintanya.

Masih dalam petitumnya, Dias juga meminta hakim menyatakan bahwa sengketa ini adalah sengketa perdata, bukan pidana. 

Karena itu, ia meminta hakim membatalkan surat perintah penyidikan yang dikeluarkan Kepala Kejati Jateng dan memerintahkan semua penegak hukum dan aparatur negara untuk tunduk dan patuh pada perkara a quo yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Pemeriksaan yang dilakukan Kejati Jateng terkesan rancu. Pasalnya, pemberian kredit ke PT CGP telah diputus perdata dan dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga pada PN Semarang.

Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1956 (Perma No.1/1956). Dalam Pasal 1 Perma No.1/1956 disebutkan bahwa apabila ada pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu.

Maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu.