Sekitar 1,2 juta anak-anak di negeri ini yang mengalami pernikahan di bawah umur.
- Masyarakat Perlu Pemahaman Terkait Uang Sewa Rusunawa
- Ketua Umum PWI Pusat Kukuhkan LKBPH PWI Pusat
- Terjunkan Unit Satwa, Kapolres Salatiga Pimpin Langsung Sterilisasi Gereja
Baca Juga
Sekitar 1,2 juta anak-anak di negeri ini yang mengalami pernikahan di bawah umur.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 10,82 persen perempuan usia 20-24 tahun di Indonesia menikah di bawah usia 18 tahun.
Hal tersebut diungkapkan oleh Child Protection Officer UNICEF Indonesia, Derry Ulum, dalam webinar bertajuk 'Gerakan Bersama Jo Kawin Bocah: Upaya Pencegahan Perkawinan Anak di Jawa Tengah'.
"Dari data laporan BPS juga diketahui, pada tahun 2019, satu dari sembilan anak perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun. Sementara untuk anak laki-laki, satu dari 100 anak mengaku menikah di bawah usia 18 tahun," kata Derry, Kamis (19/11).
Lebih jauh, Derry mencontohkan peristiwa yang dialami oleh Fatma (bukan nama sebenarnya) di Bone, Sulawesi Selatan. Fatma harus berhadapan dengan kebiasaan di daerahnya. Anak gadis sebelum lulus sekolah harus dapat jodoh dan menikah.
"Fatma masih usia 16 tahun dan masih bersekolah. Suatu saat sepulang sekolah dia sudah dinanti oleh calon suami pilihan orang tuanya. Fatma jelas menolak, karena ia masih ingin sekolah," tuturnya.
Menurut Derry, Fatma kemudian melapor ke kader perlindungan anak di desa. Setelah itu, dengan cara mediasi bersama kepala desa, rencana pernikahan itu pun akhirnya batal.
"Fatma kini tetap bersekolah, bisa belajar dan bergaul dengan teman-teman sebayanya. Sehingga, pengetahuan remaja tentang kemana melapor dan adanya layanan perlindungan anak sampai di tingkat desa sangatlah penting," papar dia.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Jawa Tengah, Retno Sudewi mengatakan, di Jawa Tengah terdapat 10,2 persen yang menikah pada usia anak.
Menurutnya, angka perkawinan anak termasuk tinggi.
"Ini banyak terjadi di Jepara, Pati, Blora, Grobogan, Cilacap, Brebes, Banjarnegara, dan Purbalingga. Penyebabnya adalah faktor ekonomi, faktor sosial budaya masyarakat, pendidikan, dan hamil di luar nikah," kata Retno.
Retno menjelaskan, pada tahun 2019 jumlah pernikahan anak laki-laki 1.377 dan perempuan 672. Setelah terbit UU No.16 tahun 2019 tentang perubahan atas UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan, maka hingga September 2020 jumlah anak laki-laki yang menikah ada 1.070 dan perempuan 7.268.
Dari hasil penelitian, anak perempuan dari keluarga yang berpenghasilan rendah lebih berpotensi menikah pada usia di bawah 18 tahun daripada keluarga yang berpenghasilan tinggi.
"Karena beberapa faktor tadi pemerintah Jateng, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melakukan gerakan masif agar kawin bocah tercegah. Di sini harus ada sinergi antara pemerintah, komunitas, dunia usaha, akademisi, dan media," kata Retno.
- Warga Grobogan Diserbu Ribuan Lalat Dari Kandang Ayam
- Pemkot Semarang Percepat Drainase Antisipasi Banjir
- AKP Agus KaSatlantas Tegal Kota Dan Jasa Raharja Kunjungi Korban Laka Lantas